Jumat, 11 Maret 2016

Kebijakan dari Ekonomi Indonesia



I.      ANALISA KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar perekonomian menjadi baik, baik disini maksudnya adalah terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan perekonomian.  Melalui kebijakan moneter, Pemerintah dapat mengatur jumlah uang yang beredar pada masyarakat, diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar dalam upaya untuk mempertahankan ekonomi bertumbuh sekaligus untuk mengedalikan inflasi.
Indonesia pun tidak luput dari kebijakan moneter tersebut. Di Indonesia, beberapa kali kebijakan moneter diambil untuk mengantisipasi inflasi yang terjadi di Indonesia. Kebijakan moneter tersebut hamper setiap tahun dilakukan untuk menekan inflasi yang ada. Kebijakan moneter tersebut diambil dengan memunculkan berbagai macam kebijakan public yang harus ditaati oleh seluruh warga Negara Indonesia. Adapun kebijakan moneter sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a.       Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
b.      Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).
Untuk menjalankan kebijakan moneter diatas, pemerintah memiliki 3 Instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), Fasilitas Diskonto (Discount Rate), dan Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio). Diluar dari 3 instrument tersebut (yang menrupakan kebijakan moneter bersifat kuantitatif), pemerintah dapat melakukan himbauan moral (Moral Persuasion.
a)      Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

b)      Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral (tingkat diskonto). Dengan tingkat Bungan pinjaman yang lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk meminjam uang dari bank sentral menjadi lebih besar, sehingga uang yang beredar bertambah. Sebaliknya bila ingin menahan laju pertambahan jumlah uang yang beredar, pemerintah menaikkan bunga pinjaman. Hal ini akan mengurangi minat bank-bank meminjam uang dari bank sentral, sehingga pertambahan jumlah uang beredar dapat ditekan.
c)      Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
d)     Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan agar memberikan kredit secara hati-hati untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

2.      Analisis Aspek Kelembagaan Pada Kebijakan Moneter di Indonesia
 Kebijakan Moneter di Indonesia adalah suatu kebijakan yang diambil untuk mengatasi inflasi yang ada di Indonesia. Untuk membuat kebijakan tersebut, hanya ada 2 instrument utama yang memiliki kekuasaan. Langkah kebijakan moneter di Indonesia dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia dimana lembaga yang berhak menjalankan kebijakan moneter tersebut adalah Bank Sentral yang ada di Indonesia. Dalam hal ini kebijakan moneter yang ada di Indonesia yang dimaksud adalah Bank Indonesia. Bank Sentral adalah bank yang mempunyai hak monopoli untuk mencetakdan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dalam suatu Negara. Tujuan Bank Sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Adapun fungsi dari Bank Sentral adalah
                     Banker’s bank
                     Sebagai Bank pemerintah
                     Mencetak Uang dan Penyediaan Uang bagi perekonomian
                     Mengatur Pasar Uang dan Pasar Modal
                     Mengawasi Bank – Bank dan lembaga Keuangan
                     Melaksanakan kebijakan Moneter di Indonesia

Contohnya :
rasio cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang diterima perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari system perbankan adalah 10. Namun bila pemerintah menetapkan rasio cadangan wajib sebesar 20%, maka dari setiap deposito yang diterima, perbankan hanya dapat mengalirkan pinjaman sebesar 80% dari deposito yang diterima oleh perbankan. Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1998, Bank Indonesia menggunakan rasio cadangan wajib guna mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi, yaitu dengan menetapkan menetapkan rasio menjadi 3% pada Februai 1996. Sejak April 1997 besarnya rasio cadangan wajib adalah sebesar 5%.

3.         Analisa Capital Flight di Indonesia dan Cara Mengatasinya
   Capital Flight sebenarnya bukan hal baru dikalangan para ekonom. Secara teoritis capital flight telah banyak dibicarakan. Namun sampai saat ini belum ada definisi capital flight yang dapat diterima secara umum. Tetapi beberapa tahunh ini penggunaan kata capital flight sering dikaitkan pada negara-negara sedang berkembang, dimana terjadi sejumlah besar modal keluar (capital outflow) yang diiringi oleh adanya peningkatan hutang luar negeri.
   Pendapat mengenai capital flight dikemukakan oleh Mohsin Khans-Ulhaque (1987) yang mendefinisikan capital flight sebagai semua arus modal keluar (capital outflow) dari negara sedang berkembang dengan tidak memperhatikan latar belakang terjadinya arus modal tersebut dari dalam negeri dan jenis modal tersebut. Diartikan sebagai capital flight karena pada umumnya modal dinegara sedang berkembang kurang(langka), maka arus modal keluar dapat berarti menghilangkan potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada gilirannya menghilangkan pula potensi pertumbuhan ekonomi.Sementara Cuddington (1986)  mengartikan capital flight sebagai semua arus modal keluar jangka pendek (short term capital outflow) baik yang tercatat mauipun yang tidak tercatat.
   Hampir tidak mungkin tidak memastikan jumlah capital flight dari suatu negara, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Bahkan untuk negara yang menganut devisa ketat sekalipun, seperti Taiwan, arus modal tetap saja keluar tanpa diketahui oleh otoritas moneter negara tersebut. Oleh karena itu, metode yang lebih tepat untuk menggrafikkan besarnya capital flight dari suatu negara adalah dengan melakukan estimasi. Apapun untuk melakukan estimasi mengenai capital flight dapat dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan yakni:
a.       Pendekatan Komputasi Neraca Pembayaran
b.      Pendekatan Residual
c.       Pendekatan Deposito Bank

Di Indonesia pernah mengalami kasus capital flight. Bahkan jika diteliti lebih jauh, keadaan yang sebenarnya adalah Indonesia setiap tahun mengalami capital flight dengan estimasi besaran yang tidak dapat diketahui secara pasti. Kasus capital flight yang pernah diteliti adalah pada tahun 1996 sampai dengan 2009. Penelitian capital flight ini dilakukan oleh Kus Virgantari dari Universitas Indonesia dengan menggunakan data yang ada pada tahun 1996 s/d 2009.
Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa Indonesia mengalami capital flight tertinggi pada tahun 1997 menuju ke tahun 1998 dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di asia tenggara. Kemudian capital flight kembali terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus Bom Bali dan juga kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Setahun kemudian pada tahun 2006 kembali terjadi kasus capital flight karena penurunan suku Bunga SBI. Dan terakhir terjadi pada tahun 2008 karena adanya krisis global yang juga melanda Indonesia.
Untuk mengatasi masalah capital flight tersebut, dapat dilakukan beberapa cara agar capital flight dapat diredam di Indonesia. Jika capital flight tidak dapat diredam lajunya, maka Indonesia akan menjadi terpuruk karena kurangnya investasi yang terjadi. Cara yang dapat dilakukan adalah:
1.    Kebijakan yang tidak terlalu mengontrol tingkat suku bunga tetapi menjamin kepemilikan modal dan aset milik orang asing.
2.    Kebijakan yang menjamin stabilitas politik dan makroekonomi secara umum. (inflasi yang terkendali, pengangguran rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan nilai tukar yang stabil).
3.  Penetapan pajak yang tidak terlalu tinggi dan adanya asuransi bagi investor
4.   Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang

Devaluasi mata uang adalah suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata uang tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan.
Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah. Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja. Adapun tujuan dari devaluasi adalah
1.      Mendorong ekspor dan membatasi impor. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki posisi balance of payment, BOP dan balance of trade, BOT agar menjadi  equilibrium atau setidaknya mendekati equilibrium.
2.      Mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Hal ini dapat dicapai karena nilai barang impor menjadi lebih mahal dibanding barang lokal, atau domestik.
3.      Dengan tercapainya kesetimbangan BOP diharapkan nilai kurs valuta asing  dapat menjadi relatif stabil.
Tindakan Devaluasi yang diambil oleh pemerintahan dapat mempengaruhi aktivitas perekonomian baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.Dalam jangka pendek, tindakan devaluasi dapat menggeser pengeluaran atau expenditure switching dari komsumsi produk luar negeri kepada konsumsi produk dalam negeri.Pergeseran konsumsi ini dapat berakibat terhadap kenaikan harga barang dan jasa dalam negeri. Kenaikan harga ini akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat.  Konsumsi masyarakat cenderung turun.
Penurunan konsumsi dapat menyebabkan turunnya aktivitas ekonomi yang dapat mendorong terjadinya deflasi. Kondisi ekonomi ini dapat mengakibatkan terjadinya resesi ekonomi.Dalam jangka menengah, tindakan devaluasi dapat memperbaiki posisi balance of payment, atau BOP dan balance of trade, atau BOT melalui mekanisme elastisitas permintaan ekspor dan impor sesuai dengan Marshall-Lerner-Condition. Selain itu, devaluasi dapat juga memperbaiki posisi BOP melalui mekanisme moneter.
   Dampak jangka panjang merupakan akibat dari dampak yang terjadi pada jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek terjadi perubahan harga produk dan pergeseran konsumsi diikuti dengan peningkatan aliran modal atu devisa pada jangka menengah. Dampak ini menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau production switching, baik yang menyangkut tradeable goods maupun nontradeable good. Pergeseran produksi ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi secara nasional.
Ada beberapa pengaruh dari devaluasi:
1.      Efek terhadap aliran barang (komoditi)
2.      Efek terhadap harga luar negeri
3.      Efek terhadap harga dalam negeri
4.      Efek terhadap kuantitas nilai tukar yg diminta
5.      Efek terhadap kuantitas nilai tukar yang ditawarkan
6.      Efek terhadap Term of Trade (TOT)
7.      Efek terhadap Balance Of Trade (BOT)
8.      Efek terhadap konsumsi domestik dan produksi domestic

Berkaitan dengan kurs mata uang asing, di samping kurs itu dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing yang bersangkutan, pemerintah juga sering mengambil kebijakan penentuan kurs. Kebijakan tersebut bisa berupa devaluasi maupun revaluasi.
   Devaluasi adalah kebijakan menurunkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing. Misalnya, semula US$ 1=Rp 400,00 lalu menjadi US$=Rp 650,00 (devaluasi pada tanggal 15 November 1978). sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaikkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing.
   Perlu di cacat bahwa penurunan nilai rupiah terhadap mata uang asing pada masa krisis moneter di Indonesia (sejak 1997) tidaklah termasuk devaluasi, sebab bukan merupakan  kebijakan pemerintah. Penurunan nilai akibat tarik menarik antara permintaan dan penawaran terhadap mata uang rupiah di pasar internasional dan nasional.
   Dengan devaluasi, nilai mata uang asing terhadap Rupiah menjadi naik. Akibatnya, harga barang-barang impor menjadi sangat tinggi jika dinilai dengan rupiah. Harapan pemerintah, dengan kebijakan ini impor dapat dikurangi. Sebaliknya, barang-barang yang kita ekspor ke luar negeri menjadi turun nilainya jika mata uang importirnya bukan rupiah (sekalipun dilihat dari rupiah tidak turun). Karena nilai barang-barang ekpor kita di luar negeri lebih rendah maka diharapkan volume ekspor bisa naik (bisa bersaing di pasar internasional).
   Dengan adanya kenaikan ekspor dan penurunan impor, diharapkan perusahaan-perusahaan di dalam negeri bisa berkembang. Akibatnya, akan dapat menyerap tanaga kerja yang menganggur dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
   Namun, devaluasi juga mempunyai dampak negatif. Adanya devaluasi membuat harga-harga di dalam negeri mejadi naik. Selain itu, orang-orang Indonesia yang mempunyai utang luar negeri dalam bentuk mata uang asing menjadi terpukul sebab utang tersebut menjadi membengkak jika dilihat dari Rupiah.

Contoh:
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia harus membeli US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus mengeluarkan Rp 400 juta. Namun, apabila ia harus membayar utangnya setelah 15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp 650 juta ini berarti, devaluasi mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar Rp250 juta. “tambahan” utang  ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.
 
Kebijakan Moneter Orde Lama
Kebijaksanaan pemerintah pada masa ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan semua factor dari unsur-unsur peninggalan orde lama, tertama dari paham komunis. Selain itu kebijaksanaan pemerintahan dalam mengupayakan penurunan tingkat inflansi yang masih sangat tinggi. Kebijakan ini cukup berhasil menekan inflasi dari +/- 650% menjadi hanya +/- 10% saja,suatu prestasi ekonomi yang tidak kecil.Kebijakan di bidang moneter dengan tujuan untuk menaikkan hasil produksi nasional,serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor,yang pada masa ini menjadi lemah karena :
1.                  Adanya inflasi yang besarnya rata-rata 34%,sehingga komoditi ekspor Indonesia menjadi mahal di pasar dunia,akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk sejenis dari Negara lain.
2.                  Adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979.

Pada Awal Masa Orde Baru
            Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Soeharto.
            Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
            Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1.            Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya penerimaan Negara, tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2.            Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3.            Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:
1.      Mengadakan operasi pajak.
2.      Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
3.      memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya penerimaan Negara, tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana
4.      Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
5.      Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara :
1.      Mengadakan operasi pajak.
2.      Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Jadi Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan tujuannya untuk  terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada TrilogiPembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
6.      Analisa Fenomena Kebijakan Moneter Yang Terjadi di Indonesia dan Cara Mengatasinya
Pada periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik. Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak mengherankan, jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan investasi merosot tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada pemerintah, serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada lembaga-lembaga negara dan pengusaha.
Mulanya pada tahun 1959, pemerintah telah melakukan kebijakan pengetatan moneter sebagai upaya mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan pengetatan moneter 1959 tersebut antara lain dilaksanakan dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit bagi tiap-tiap bank secara individual pada tanggal 8 April 1959. Selain itu, pemerintah dengan Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering uang pada tanggal 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100, serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959 membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000 yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang. Penanganan laju inflasi ini terus berlangsung hingga awal 1960-an dengan melakukan pembatasan kredit perbankan secara kuantitatif dan kualitatif.
Dalam paket kebijakan moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD. Penurunan nilai rupiah tersebut, tidak berlaku dalam perhitungan laba maupun pendapatan yang dikenakan pajak dan tidak diperhitungkan dengan pajak apapun. Pada periode ini ditetapkan pula kebijakan mengenai pungutan ekspor-impor yang dikaitkan dengan harga valuta rupiah. Ketentuan itu mewajibkan eksportir untuk menyerahkan pungutan ekspor sebesar 20% dari harga penjualan sedangkan importir diwajibkan untuk membayar pungutan impor -besarnya berkisar 0-200%, bergantung pada jenis barang impor- kepada pemerintah.
Pada paruh pertama periode 1960-an, pengeluaran anggaran pemerintah semakin besar, terutama dalam pembiayaan proyek pemerintah yang menambah dampak inflatoir dari pelaksanaan keuangan negara. Untuk mengatasi perkembangan ini, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan uang rupiah baru yang nilainya diciutkan. Nilai Rp 1.000 -uang lama- diturunkan menjadi Rp 1 -uang baru. Berikutnya, untuk mempertahankan cadangan devisa yang terus menurun pada periode ini, pemerintah melakukan pengawasan terhadap sumber devisa yaitu lalu lintas perdagangan serta penerimaan dan pengeluaran devisa di bidang jasa-jasa serta pengawasan modal untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih cenderung berpihak kepada blok timur. Kedekatan Indonesia dengan Cina dan Rusia menyebabkan renggangnya hubungan Indonesia dengan negara-negara blok barat.
Kemudian, dengan alasan semangat revolusi dan berdikari, pada tanggal 17 Agustus 1965, pemerintah memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan IMF, Bank Dunia, dan PBB. Dengan penarikan diri tersebut, rencana-rencana pengembalian utang atas Outstanding Drawing -sesuai dengan jadwal yang telah disepakati diganti dengan persetujuan Settlement of Account. Utang kepada IMF sejumlah USD 61,9 juta menjadi USD 63,5 juta. Jumlah tersebut, termasuk bunga utang yang akan dilunasi dalam 10 kali angsuran per 6 bulan, terhitung sejak tanggal 17 Februari 1966. Keadaan ekonomi yang semakin tak menentu pada periode ekonomi terpimpin mendorong pemerintah untuk melarang penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia dan Statistik Moneter. Larangan penerbitan tersebut dilakukan demi menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk mengatur jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi masalah-masalah makro ekonomi seperti inflasi, pengangguran dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan dengan cara pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang beredar dapat membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil, sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya meningkat. Tiga sektor yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah: (1) ekspor-impor; (2) tabungan dan investasi; serta (3) penerimaan dan pengeluaran negar Inflasi tidak akan terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek penyebab inflasi dapat dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor swasta. Tekanan inflasi akan timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaannya, sedangkan pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila bankbank mengucurkan kredit yang besar guna memenuhi pinjaman sektor swasta tersebut untuk kegiatan-kegiatan, baik lapangan investasi maupun non investasi. Untuk mengatasi inflasi, bank sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan membatasi pemberian kredit atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga cara: kebijakan diskonto, operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.

Kebijakan Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai perbandingan antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1-, serta pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia, uang kertas dan uang logam pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut. Sejak saat itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga-harga menjadi seperseribu harga lamanya. Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda. Hal itu tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat kondisi perekonomian sedemikian berkembang sehingga perekonomian barter (perekonomian yang mensyaratkan double coincidence ofwant) dirasakan tidak memadai. Uang memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar, alat pengukur nilai, ukuran pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak benda dalam pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang berhubungan erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata lain, naik turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum permintaan dan penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud dengan nilai uang adalah jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan oleh orang lain kepada kita sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita berikan kepadanya. Naik turunnya nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan masyarakat untuk menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan cenderung menaikan nilai uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun akan menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mengatasi inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluru wilayah Republik Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.

Arah kebijakan 1959-1966
Awal periode ini ditandai dengan tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu memotong nilai uang sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan simpanan masyarakat untuk dijadikan simpanan jangka panjang. Dana simpanan masyarakat pada perbankan yang dibekukan tersebut harus disetorkan kepada Pemerintah. Akibatnya perbankan mengalami kesulitan likuiditas.
Di bidang politik, Pemerintah menerapkan GBHN baru yang dinamai Manipol (Manifesto Politik) USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Di bawah era Manipol USDEK ini maka seluruh unsur sumber daya dikerahkan untuk mendukung perjuangan revolusi, yaitu perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, bebas dari penjajahan dan bersatu padu membangun kepribadian & karakter bangsa. Pembangunan bidang politik tersebut disertai dengan pembangunan prasarana yang secara ekonomis tidak produktif, atau terkenal dengan sebutan pembangunan proyek mercusuar. Di samping itu, APBN juga terbebani oleh berbagai pengeluaran baru seperti biaya konfrontasi dengan Malaysia, pembebasan Irian Barat dari Belanda dan kenaikan gaji pegawai negeri.
Di bidang ekonomi, pembangunan sektor riil masih juga belum menunjukkan adanya perkembangan sehingga pasokan barang, terutama pangan tetap mengalami kekurangan. Dampak dari berbagai kondisi tersebut menimbulkan pembengkakan defisit APBN yang semakin kronis yang disertai pula oleh defisit cadangan devisa. Sama seperti pada periode sebelumnya, defisit APBN tersebut ditutuap dengan Uang Muka dari bank Indonesia yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan uang. Oleh karena itu uang beredar semakin banyak dan terjadilah hyperinflasi. Tahun 1965/1965 kenaikan inflasi mencapai 635,5% yang sekaligus merupakan inflasi tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Arah kebijakan moneter ditujukan untuk menekan inflasi tersebut.

Kebijakan Devisa 1959-1966
Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung semakin diperketat melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor berbagai jenis barang.Terjadinya keguncangan pasar di luar negeri pada tahun 1960 an mengakibatkan kemorosotan penerimaan devisa terutama dari ekspor karet yang menjadi komoditas utama pada waktu itu. Munculnya berbagai jenis karet sintetis juga memberikan tekanan/ persaingan terhadap hasil ekspor karet Indonesia. Di samping itu, naiknya impor beras juga sangat membebani cadangan devisa Indonesia. Untuk mengatasi berbagai tekanan tersebut, Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan devisa untuk keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya peningkatan ekpor.
Pada akhir tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen Verordening Tahun 1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka devisa yang dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana devisa. Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak dengan cara menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara menetapkan penggunaannya melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.

Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus 1959, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dimaksudkan untuk meringankan beban APBN, memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi paket itu terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan devisa serta ketentuan-ketentuan perdagangan internasional.Devaluasi yang dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per USD1,- Devaluasi ini selain mampu meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga mengakibatkan naiknya inflasi.
Turunnya harga karet di pasar dunia pada waktu itu merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor Indonesia serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut, mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan nilai tukar sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu, kepada importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai golongan barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810 untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali, terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen) dari kurs tetap Rp45,- per USD1.
Dengan lain perkataan, nilai tukar tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple exchange rate system.

Kebijakan Utang Luar Negeri 1959-1966
Dalam usaha untuk meringankan beban anggaran negara, dan memperbaiki posisi neraca pembayaran, salah satu kebijakan yang ditempuh Pemerintah adalah melalui pinjaman dana dari luar negeri. Seiring dengan adanya perubahan politik luar negeri, utang luar negeri pemerintah sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara blok Timur, seperti dari RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain dipergunakan untuk membiayai pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga dipergunakan untuk membiayai proyek yang tidak produktif, seperti untuk konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah tersebut telah menambah berat beban Pemerintah bila diukur dengan kemampuan membayar kembali baik dari sisi keuangan negara atau tersedianya devisa yang berasal dari ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia telah mendapat dua pinjaman luar negeri yakni dari Exim Bank sebesar USD 6,9 juta untuk perluasan Pabrik Semen Gresik dan USD 5 juta untuk pembelian pesawat Lockheed Electra. Kemudian pada awal 1960, USEximbank juga telah menjanjikan pemberian pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni untuk membantu pendirian pabrik Urea di Palembang dan pembangunan proyek listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang cukup besar terjadi pada tahun 1961 dan 1962 yakni utang yang diperoleh dari USSR, dan pada tahun 1963 telah diperoleh utang baru dari RRC.

Kebijakan fiscal dan kebijakan moneter
Jika kita berbicara tentang perekonomian Indonesia, yang akan terpikir di benak kita adalah tentang kondisi dan keadaan ekonomi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk Domestik Bruto (PDB). pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah. Pemerintah mempunyai berbagai kebijakan untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian Indonesia.
Yang pertama adalah kebijakan fiskal. kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
kebijakan fiskal mempunyai berbagai bentuk. salah satu bentuk kebijakan fiskal yang sedang marak adalah BLT. banyak orang melihat BLT hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu. sebenarnya di balik itu ada tujuan khusus dari pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, daya beli masyarakat juga meningkat. dengan demikian permintaan dari masyarakat juga meningkat. meningkatnya permintaan dari masyarakat akan mendorong produksi yang pada akhirnya akan memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia.
Contoh lain dari kebijakan fiskal adalah proyek-proyek yang diadakan oleh pemerintah. katakanlah pemerintah mengadakan proyek membangun jalan raya. dalam proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. hal ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ bertambah. dengan bertambahnya pendapatan mereka akan terjadi efek yang sama dengan BLT tadi.
Kebijakan fiskal juga dapat berupa kostumisasi APBN oleh pemerintah. misalnya dengan deficit financing. defcit financing adalah anggaran dengan menetapkan pengeluaran > penerimaan. deficit financing dapat dilakukan dengan berbagai cara. dahulu pemerintahan Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara memperbanyak utang dengan meminjam dari Bank Indonesia. yang terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat banyak. untuk menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat. sayangnya, rakyat tidak mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah. akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri.
Tidak hanya Indonesia, tetapi Amerika Serikat juga pernah menerapkan deficit financing dengan mengadakan suatu proyek. proyek tersebut adalah normalisasi sungan Mississipi dengan nama Tenesse Valley Project. proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi banjir. proyek ini adalah contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya. dengan adanya proyek ini pengeluaran pemerintah memang bertambah, tetapi pendapatan masyarakat juga naik. pada akhirnya hal ini akan mendorong kegiatan ekonomi agar menjadi bergairah.
mari kita mengingat sedikit kejadian pada akhir tahun 1997 saat terjadi krisis moneter di Indonesia. pada saat itu nasabah berduyun-duyun mengambil uang di bank (fenomena bank rush) karena takut bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk mengembalikan tabungan mereka. untuk mengatasi masalah ini bank-bank umum diberi pinjaman dari Bank Indonesia yang disebut Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI). Pada saat itu memang seluruh tabungan dijamin oleh pemerintah, maka dari itu pemerintah juga harus mengambil tindakan saat terjadi fenomena tadi.
Seharusnya saat suatu perusahaan (termasuk bank umum) kekurangan modal pemilik harus menambah modalnya pada perusahaan tersebut. ini berlaku pada umum dan pemerintah. jika pemerintah kekurangan dana, pemerintah bisa menambah dana dengan menjual saham yang dimiliki pemerintah. perlu diingat, ada beberapa perusahaan yang sahamnya dimiliki pemerintah. Kebijakan yang kedua adalah kebijakan moneter. kebijakan moneter adalah kebijakan dengan sasaran mempengaruhi jumlah uang yang beredar. jumlah uang yang beredar dapat dipengaruhi oleh Bank Indonesia. selain dengan langsung menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar, mengatur jumlah uang yang beredar juga bisa menggunakan BI Rate. BI rate adalah instrumen dari pemerintah untuk acuan seberapa besar bunga simpanan jangka pendek, misalnya Surat Berharga Indonesia. biasanya bank-bank umum akan menaikkan atau menurunkan suku bunganya seiring dengan naik atau turunnya BI Rate. maka dari itu, saat BI Rate diturunkan, suku bunga kredit juga turun, sehingga biaya investasi ikut turun. dari sini, diharapkan investasi meningkat.
Kebijakan moneter juga mengatur tentang giro wajib minimum, yaitu jumlah simpanan bank umum di Bank Indonesia yang merupakan sebagian dari titipan pihak ketiga. saat ini giro wajib minimum sebesar 8 % dari titipan pihak ketiga. Kebijakan moneter juga berpengaruh dalam perdagangan internasional dengan mengendalikan tarif ekspor impor. jika tarif impor naik, dorongan untuk impor berkurang. jika tarif impor turun, dorongan untuk ipmpor bertambah dan harga barang-barang impor menjadi lebih murah. Sedikit tambahan, sekitar 95 % kapas yang digunakan sebagai produksi di Indonesia adalah hasil impor. dalam kasus ini industri katun sebagai hasil olahan kapas dalam negeri akan turun jika tarif impor naik.
satu lagi kebijakan yang dimiliki pemerintah Indonesia adalah kebijakan sektoral. kebijakan ini menitikberatkan pada satu dari sembilan sektor perekonomian di Indonesia. misalnya, di sektor pertanian pemerintah memberikan subsidi pupuk. subsidi ini diberikan agar harga pupuk murah. dengan demikian pupuk akan terdorong untuk dipakai. contoh lainnya adalah kebijakan di sektor industri. di sektor ini pemerintah membuat kebijakan kawasan ekonomi khusus. kawasan ekonomi khusus adalah kawasan yang khusus digunakan untuk pendirian industri. misalnya, kawasan industri Cilacap. kawasan ini mempunyai hak khusus, misalnya di Batam impor bahan mentah tidak terkena pajak, sehingga hal ini akan mendorong produksi di sana.

II. KELEMBAGAAN SOSIAL


Ilmu ekonomi yang berkembang dalam cabang barunya ilmu ekonomi institusi baru (neo institutional economics)1 melihat kelembagaan dari sudut biaya transaksi (transaction costs) dan tindakan kolektif (collective action). Di dalam analisis biaya transaksi termasuk analisis tentang kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam atau faktor produksi (property rights) , ketidak-seimbangan     akses dan penguasaan informasi (information asymmetry) serta tingkah laku opportunistik (opportunistic behaviour). Ilmu ekonomi institusi baru ini sering pula disebut sebagai ilmu ekonomi biaya transaksi (transaction costs economics) sedangkan yang lain menyebutkannya sebagai paradigma informasi yang tidak sempurna (imperfect information paradigm) (Stiglitz, 1986).

Kelembagaan dalam Bahan Ajaran ini adalah:
suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.”

A.                       Unsur-Unsur Kelembagaan

Dari berbagai definisi yang ada, dapat kita rangkum berbagai unsur penting dari kelembagaan, di antaranya adalah:
ØInstitusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat;
ØNorma tingkah laku yangmengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur;
ØPeraturan dan penegakan aturan/hokum;
ØAturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota;
ØKode etik;
ØKontrak;
ØPasar;
ØHak milik (property rights atau tenureship);
ØOrganisasi;
ØInsentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan.

B.                       Pembedaan Kelembagaan dan Organisasi

timbul. Pertama, kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung modern. Kelembagaan merupakan sesuatu yang tradisional, atau tidak modern. Cara berpikir seperti ini merupakan ciri khas ideologi modernisasi yang menuntut keseragaman dalam segala hal, baik manajemen maunpun kelembagaan. Pembedaan atas tradisional dan modern ini sejalan dengan pembedaan yang diajukan oleh Horton dan Hunt (1984:  211): “… institution do not have members, they have followers”.
Kedua, kelembagaan dari masyarakat itu sendiri dan organisasi datang dari atas. Cara pembedaan ini relatif mirip dengan pembedaan di atas, namun ini tidak dalam konteks tradisional-modern, namun bawah-atas. Kelembagaan dan organisasi merupakan bipolar yang secara diametral dapat dipertentangkan. Keduanya merupakan social form yang berada pada dua ujung garis kontinuum: kelembagaan berada di sebelah kiri, dan organisasi di sebelah kanan.
Ketiga, kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Menurut Norman Uphoff (1986: 8), tujuan akhir adalah organisasi yang melembaga, atau kelembagaan yang memiliki aspek organisasi. Jadi, mereka hanya berbeda dalam tingkat penerimaan di masyarakat saja. Organisasi dipandangnya hanyalah sebagai sesuatu yang akan dilembagakan. Pendapat ini sedikit banyak juga berasal dari dari Huntington (1965: 378) yang menyatakan: “Organization and procedures vary in their degree of institutionalization……Institutionalization is the process by which organizations and procedures acquire value and stability”.
Keempat, organisasi merupakan bagian dari kelembagaan. Dari kacamata ekonomi, Binswanger dan Ruttan (1978: 329) mengemukakan pandangan, bahwa: “An institution is usually defined as the set of behavioral rules that govern a particular pattern of section and relationship. An organization is generally seen as a decision making unit – a family, a firm, a bureau – that exercise control of resources….. the concept of institution will include that of organization”. Dalam konteks ini, organisasi merupakan organ dalam suatu kelembagaan. Keberadaan organisasi menjadi bagian teknis yang penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan.
Dari bahasan di atas, terlihat bahwa ada 3 hal, dengan dua level, dan dua objek pokok. Tiga hal yang dimaksud adalah kelembagaan, perilaku, dan struktur. Kelembagaan merupakan sebutan yang lebih tinggi, yang mencakup perilaku dan struktur, yang sejajar kedudukannya dengan sebutan organisasi . Sedangkan perilaku dibentuk dari norma, nilai, dan lain-lain. Sementara strukur berperan sebagai aspek statis Kinerja Kelembagaan
Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson, 2003). Ada dua hal untuk menilai kinerja kelembagaan yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material, dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut bisa dihasilkan. Satu cara yang lebih sederhana telah dikembangkan untuk memahami kinerja internal dan (sedikit) eksternal suatu kelembagaan, melalui ukuran-ukuran dalam ilmu manajemen. Ada empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan (institutional assessment), yaitu (Mackay et al., 1998):
Satu, kondisi lingkungan eksternal (the external environment). Lingkungan sosial di mana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh sesuatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan dimaksud berupa kondisi politik dan pemerintahan (administrative and external policies environment), sosiolkultural (sociocultural environment), teknologi (technological environment), kondisi perekonomian (economic enviroenment), berbagai kelompok kepentingan (stakeholders), infrastuktur, serta kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam (policy natural resources environment). Seluruh komponen lingkungan tersebut perlu dipelajari dan dapat dianalisis bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan yang dipelajari. Sebagian memiliki pengaruh yang lebih kuat dan langsung, sebagian tidak. Implikasi kebijakan yang disusun dapat dialamatkan kepada lingkungan tersebut, jika disimpulkan telah menjadi faktor penghambat terhadap operasioal suatu kelembagaan.
Kedua, motivasi kelembagaan (institutional motivation). Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. terdapat empat aspek yang bisa dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan (institutional history), misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut (incentive schemes). Suatu fakta sosial adalah fakta historik. Sejarah perjalanan kelembagaan merupakan pintu masuk yang baik untuk mengenali secara cepat aspek-aspek kelembagaan yang lain.
Tiga, kapasitas kelembagaan (institutional capacity). Pada bagian ini dipelajari bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Kemampuan tersebut diukur dari lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai (strategic leadership), perencanaan program (program planning), manajemen dan pelaksanaannya (management and execution), alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation), dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government policymakers, dan external donors.
Empat, kinerja kelembagaan (institutional performance). Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan-tujuannya, efisiensi penggunaan sumber daya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan di luarnya. Terkesan di sini bahwa kalkulasi secara ekonomi merupakan prinsip yang menjadi latar belakangnya. Untuk mengukur keefektifan dan efisiensi misalnya dapat digunakan analisis kuantitatif sederhana misalnya dengan membuat rasio antara perolehan yang seharusnya dengan yang aktual tercapai, serta rasio biaya dengan produktivitas.
Dalam pelaksanaan kegiatan penguatan kelembagaan, prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang menjadi acuan, landasan dan penerapan dalam seluruh proses kegiatan. Prinsip-prinsip tersebut harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan serta dilestarikan oleh semua pelaku dan stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan. Prinsip-prinsip yang diperlukan adalah sebagai
berikut :
a. Demokrasi. Dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, terutama kepentingan masyarakat golongan bawah, maka mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan demokratis. Anggota dan/ atau masyarakat didorong agar mampu membangun dan memperkuat kelembagaan dengan representasi, yang akseptabel, insklusif, transparan, demokrasi dan akuntabel.
b.                        Partisipasi. Dalam tiap langkah kegiatan pengembangan masyarakat harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa kebersamaan melalui proses belajar dan bekerja bersama. Partisipasi dibangun dengan menekan proses pengambilan keputusan oleh warga, mulai dari tataran ide/ gagasan, perencanaan, pengorganisasian, pemupukan sumber daya, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemeliharaan. Partisipasi juga berarti upaya melibatkan segenap komponen masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang rentan (Vulnerable groups) yang selama ini tidak memiliki peluang/ akses dalam program pengembangan masyarakat.
c. Transparansi dan Akuntabilitas. Dalam proses manajemen proyek maupun manajemen kelembagaan masyarakat harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga masyarakat belajar dan “Melembagakan” sikap bertanggung jawab serta tanggung gugat terhadap pilihan keputusan dan kegiatan yang dilaksanakannya. Transparan juga berarti terbuka untuk diketahui masyarakat sendiri dan pihak terkait lainnya, serta menyebarluaskan hasil pemeriksaan dan audit ke masyarakat, pemerintah, lembaga, donor, serta pihak-pihak lainnya. Di dalam pengembangan masyarakat terdapat prinsip transparansi, yaitu keterbukaan terhadap pelaksanaan program dengan tujuan seluruh warga masyarakat dapat mengetahui keseluruhan tentang program pengembangan masyarakat sampai dengan pelaksanaan kegiatannya, sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam mengontrol kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat di desanya, baik program yang datang dari pemerintah maupun program yang tumbuh atas prakarsa masyarakat.
d.                        Desentralisasi. Dalam rangka otonomi daerah, proses pengembalian keputusan yang langsung menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat agar dilakukan sedekat mungkin dengan pemanfaatan atau diserahkan pada masyarakat sendiri, sehingga keputusan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat banyak. Disamping prinsip-prinsip seperti diatas diperlukan nilai-nilai untuk menunjang pelaksanaan program-program pengembangan masyarakat antara lain :
Dengan demikian, pemilihan pelaku-pelaku ditingkat masyarakat pun harus menghasilkan figur-figur yang benar-benar di percaya masyarakat sendiri, bukan semata mempertimbangkan status sosial, pengalaman serta jabatan.
Ketulusan. Dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan benar-benar berlandaskan niat tulus dan ikhlas untuk turut memberikan kontribusi bagi pembenahan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ada di wilayahnya, kepentingan pribadi serta golongan atau kelompoknya.
Kejujuran. Dalam proses pengambilan keputusan, pengelolaan dana serta pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat dilakukan dengan jujur sehingga tidak dibenarkan adanya upaya-upaya untuk merekayasa, memanipulasi maupun menutup-nutupi sesuatu yang dapat merugikan masyarakat serta menyimpang dari visi, misi dan tujuan pengembangan masyarakat.
Keadilan. Dalam pelaksanaan kebijakan dan melaksanakan pengembangan masyarakat harus menekankan rasa keadilan (Faimes), kebutuhan nyata dan kepentingan masyarakat miskin. Keadilan dalam hal ini tidak berarti sekedar pemerataan.
Kesetaraan. Dalam pelibatan masyarakat pada pelaksanaan dan pemanfaatan tidak membeda-bedakan latar belakang, asal usul, agama, status, maupun jenis kelamin dan lain-lainnya. Semua pihak diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dan/ atau menerima manfaat, termasuk dalam proses pengambilan keputusan.
Kebersamaan dalam keseragaman. Dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan kemiskinan perlu dioptimalkan gerakan masyarakat, melalui kebersamaan dan kesatuan masyarakat, sehingga urusan pengelolaan hutan bersama masyarakat dan peningkatan taraf hidup benar-benar menjadi urusan semua warga masyarakat dari berbagai latar belakang suku, agama, mata pencaharian, budaya pendidikan dan sebagainya dan bukan hanya dari satu kelompok masyarakat atau pelaku sekelompok saja.

III. ANALISIS EKONOMI INDONESIA PADA ERA ORDE BARU

Masa orde lama dimulai dari tanggal 17 Agustus 1945 saat Indonesia merdeka. Pada saat itu,keadaan ekonomi Indonesia mengalami stagflasi (artinya stagnasi produksi atau kegiatan produksi terhenti pada tingkat inflasi yang tinggi). Indonesia pernah mengalami sistem politik yang demokratis yakni pada periode 1949 sampai 1956. Pada tahun tersebut, terjadi konflik  politik yang berkepanjangan dimana rata-rata umur kabinet hanya dua tahun sehingga pemerintah yang berkuasa tidak fokus memikirkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yangterjadi pada saat itu. Selama periode 1950an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial, struktur ini disebut dual society dimana struktur dualisme menerapkandiskriminasi dalam setiap kebijakannya baik yang langsung maupun tidak langsung.Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah buruk dibandingkan pada masa penjajahanBelanda. Hal ini dikarenakan terjadi nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing di tanah air. Nasionalisasi perusahaan asing yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal periode“Ekonomi Terpimpin” dengan haluan sosialis/komunis. Sebenarnya politik ini hanya merupakansatu refleksi dari perasaan anti colonial, anti impralisme, dan anti kapitalisme pada saat itu. Padaakhir September 1965, ketidakstabilan politik Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinyakudeta yang gagal. Sejak saat itu, sistem ekonomi yang dianut Indonesia mengalami perubahandari pemikiran sosialis ke semikapitalis yang dalam pelaksanaannya mengakibatkan munculnyakesenjangan ekonomi yang semakin besar. Periode ekonomi ini dimulai sejak proklamasikemerdekaan hingga jatuhnya Presiden Soekarno.Perekonomian Indonesia bisa dikatakan sebagai ekonomi perang, karena pada waktu itu masihterjadi perang antara kaum revolusioner dengan pemerintahan Belanda yang dibantu Inggris danAustralia. Situasi politik dalam negeri menjadi tidak kondusif untuk kemajuan perekonomian.Terjadi banyak pertentangan politik, muncul banyak partai, adanya keinginan negara kesatuanmaupun negara federasi serta negara agama. Situasi ini menarik perhatian republik sehinggahubungan dengan pemerintah Belanda makin memburuk. Pada waktu itu pihak swasta dalamnegeri tidak mampu untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta milik Belanda.Perekonomian Indonesia pada saat itu tidak mendapat perhatian cukup dari pemerintah, sehinggakeadaan keuangan Indonesia memburuk, inflasi tinggi dan dilaksanakannya kebijakan moneter yang sangat drastis yaitu sanering (pengguntingan uang rupiah setengah lembar diganti dengan  uang baru dan dikembalikan kepada pemiliknya dan setengahnya lagi ditukar dengan obligasinegara). Setelah diadakan sanering, keadaan ekonomi Indonesia bukannya membaik namunharga-harga terus mengalami kenaikan seirama dengan keadaan politik di dalam dan luar negeri.Sampai akhirnya pada tahun 1965, tercatat tingkat inflasi terbesar 650 persen dengan pertumbuhan ekonomi tidak lebih dari 2-3 persen pertahun. Seirama dengan orientasi ke blok sosialis, sistem perbankan pun disesuaikan dengan sistem perbankan di Rusia. Dengan demikian,munculah istilah sistem perekonomian sosialis ala Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh :
1. Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javashe Bank ,mata uang pemerintah Hindia Belanda,dan mata uang pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
2. Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
3. Kas Negara kosong
4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :
1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan Juli 1946.
2. Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke India (India merupakan Negara yang mengalami nasib yang sama dengan Indonesia yaitu sama-sama pernah dijajah, Indonesia menawarkan bantuan berupa padi sebanyak 500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-obatan kepada Indonesia),mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4. .Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

ORDE BARU
Orde baru pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan [1998].
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur Administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan Aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Adapun dari usaha pemerintah tersebut memberikan dampak positif dan negatifnya ,yaitu:
1)       Dampak Negatif Kebijakan Orde Baru
a)      Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan summer daya alam
b)      Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
c)      Pembangunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata
d)     Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.
e)      Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.
f)       Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
g)      Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpadiimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
h)      Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlahwilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau,Kalimantan Timur, dan Irian.

2)       Dampak Positif Kebijakan Orde Baru
a)      Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya pun dapat dilihat secara konkrit
b)      Indonesia mengubah ststus dari Negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
c)      Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.

Progam Yang Dijalankan Pada Masa Orde Baru
Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaranyang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebutPelita(Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dariUniversitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negaraBarat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilahyang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakanekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.

1.      Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974
Yang menjadi landasan awal dalam pembangunan masa ini adalah:
Tujuan Pelita I: Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya
Sasaran Pelita I: Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. 
Titik Berat Pelita I :Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.Muncul peristiwa Marali
(Malapetaka Lima belas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia.Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
2.      Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan,sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakanrakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasilmeningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7%setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadikenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan di bangun.

3.      Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur  berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. 
Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut:
         Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepadaterciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
         Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
         Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

4.      Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menujuswasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapatmenghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan danPertanian Dunia) pada tahun 1985. Hal ini merupakan prestasi besar  bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.

5.      Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

6.      Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomiyang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh. Disamping itu Soeharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun1980. Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi. Keberhasilan Soeharto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an diawali dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.

Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Saat Akhir Masa Orde Baru
Seperti yang dijelskan sebelumnya, pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak. Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Pelita VI pun kandas ditengah jalan. Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela, Pembagunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan Sumber Daya Alam.
Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan. Pembagunan pun tidak merata.
 Tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selanjutnya ikut menjadi penyebab terpuruknya Perekonomian Nasional Indonesia menjelang akhir tahun1997. Membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.  

Faktor Penyebab Kegagalan Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru
Ketika krisis moneter melanda Indonesia, semua pihak tersentak melihat indikator ekonomi Indonesia. Hanya dalam beberapa bulan, krisis ekonomi telah memporak porandakan “keberhasilan” pertumbuhan ekonomi Indonesia (rata-rata 7-8 persen) selama tiga dekade menjadi minus 13 persen. Ironisnya, dalam beberapa bulan kemudian, krisis justru semakin parah dan mengarah pada potret ekonomi Indonesia yang suram. Misalnya, selama dilanda krisis, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 80 juta, angka pengangguran meroket menjadi 20 juta jiwa, bahkan laju inflasi mendekati angka 100 persen (hiperinflasi).
   Sikap mental Orde Baru yang tak lagi menghargai supremasi hukum, hak asasi manusia (HAM), demokratisasi dan lingkungan hidup memang tak sejalan dengan gerakan reformasi. Orde Baru bukan menyangkut orang per orang, melainkan sikap mental dan pola pikir yang mempengaruhi seseorang. Tanpa perubahan terhadap sikap mental itu, apa pun gerakan reformasi yang dilakukan takkan berhasil.
Karena itu, mentalitas Orde Baru harus diubah. Gerakan reformasi, lanjutnya, bisa berhasil walaupun dilakukan oleh mereka yang pernah menjadi pejabat Orde Baru. Asalkan, mereka sudah mengubur mentalitas Orde Baru serta mengubahnya menjadi sikap mental yang sesuai dengan gerakan reformasi. Sebaliknya, reformasi bisa gagal walaupun dilaksanakan oleh orang lain, yang bukan mantan pejabat Orde Baru, tetapi mereka memiliki mentalitas Orde Baru. Mentalitas Orde Baru, muncul karena penguasa mempunyai kedudukan lebih kuat dibanding rakyat. Akibatnya, aparat pun merasa harus dilayani oleh rakyat, dan menempatkan rakyat bagai peminta-minta pelayanan. Padahal, aparat sesungguhnya harus berperan melayani masyarakat.
Bahkan, dengan porsi kekuasaan pemerintah yang terlalu kuat, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kasus pertanahan misalnya, rakyat yang merasa haknya dirampas cuma bisa berunjuk rasa atau membangun tenda di atas tanahnya. Namun itu tidak akan bertahan lama. Rakyat pun pasti kalah, BPN tengah melakukan perubahan sikap mental aparatnya. Pelayanan kepada rakyat di bidang pertanahan kini semakin dipermudah.
Orde Baru bagaikan seorang raksasa yang kini tengah menghadapi sakratul maut. Bahkan mungkin secara medis raksasa Orde Baru itu sudah mati. Tetapi seperti mahluk hidup, yang menghadapi ajalnya, raksasa Orde Baru kini sedang mengge-lepar-gelepar sekarat dan beberapa bagian tubuhnya bergerak tidak terkendali.
Dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mengendalikan gerakan “bagian tubuh” Orde Baru yang tidak terkendali itu. Pemerintah dapat melakukan kekerasan untuk mempercepat kematian Orde Baru. Tetapi ini akan menghasilkan raksasa baru yang barangkali akan dihadapi rakyat, seperti menghadapi Orde Lama maupun Orde Baru, 10-20 tahun yang akan datang. Sebab itu, pemerintah dan ABRI memilih pendekatan persuasif, sekalipun butuh waktu dan kesabaran.
Pendekatan yang dilakukan pemerintah serta ABRI dalam menangani berbagai kerusuhan, memang bukan suatu yang populer. Akibatnya, ABRI dan pemerintah dianggap lemah. Banyak tokoh masyarakat yang menghujat pemerintah. Pemerintah saat ini selalu dalam posisi terpojok, kalah, dan selalu salah. Sebaliknya, kalangan humas pemerintah kurang mampu menghadapi pendapat masyarakat yang menyudutkan pemerintah.
Keberhasilan pembangunan belumlah tentu sebuah keberhasilan. Bahkan, keberhasilan pembangunan-khususnya selama Orde Baru, bisa menjadi perusakan alam dan kerugian besar untuk masyarakat daerah. Ini terjadi, karena pelaksanaan pembangunan kurang memperhatikan analisis dampak sosial. Juga pengaruh banyaknya pejabat-pejabat yang menguasai sistem-sistem untuk kepentingan diri mereka masing-masing sebagaimana yang telah menjadi ciri dari pemerintahan dan masyarakat Orde Baru.
Suatu golongan yang tidak disenangi kemudian menjadi disenangi, akan ikut membantu memperlancar perubahan. Namun suatu golongan yang telah berada dalam situasi yang menyenangkan, menikmati banyak hak istimewa, kekuasaan dan duit, mereka akan bertahan sekuat mungkin. Itulah keadaan yang terjadi sekarang, golongan status quo sangat kuat.
Para pejabat Orde Baru selalu menyatakan penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi politik dan birokratik itu untuk kepentingan pembangunan bangsa, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta janji-janji pemerataan atas hasil-hasil pembangunan. Namun pada dasawarsa 1980-an, gerakan mahasiswa secara jitu menemukan fakta bahwa “pembangunan telah memakan korban” bagi warga masyarakat yang justru tergusur dari tanah mereka. Setiap upaya mempersoalkan nasib rakyat tak jarang diperhadapkan dengan tudingan “mengganggu jalannya pembangunan”. Jika mempersoalkannya ke tingkat internasional, aparat Orde Baru menudingnya sebagai “menjelek-jelekkan bangsa” atau “menjual bangsa” ke pihak asing.
Tujuan nasionalisme Orde Baru sangat jelas, yakni mempertahankan kepentingan KKN mereka dengan dua target.
Pertama : Kekuatan-kekuatan rakyat tak dapat berkembang dan tetap lumpuh, sehingga rakyat tak bisa bersuara atas praktik KKN Orde Baru.
Kedua : Mengobarkan nasionalisme untuk mencegah dan mengacaukan upaya aktivis hak asasi manusia untuk memperkarakan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (human rights violation).
Hasil yang diharapkan pemimpin Orde Baru yang mengobarkan nasionalisme sempit itu, ada dua hal. Pertama, mereka kebal dari hukum (impunity). Semua praktik KKN yang mereka jalankan, tidak dapat dihukum, sehingga kepentingan-kepentingannya tetap lestari. Mereka untouchable-tidak bisa dijangkau hukum. Kedua, mereka juga bebas bergentayangan melakukan penindasan hak asasi manusia, memangsa korban dari bangsanya sendiri.
Nasionalisme yang digembor-gemborkan oleh Orde Baru jelas berusaha keras mematikan gerak aktivis hak asasi manusia dengan berbagai siasat dan intrik yang kotor. Dengan siasat dan intrik kotor itulah pengibar nasionalisme ini mengelabui kita semua, sehingga berbagai pelanggaran hak asasi manusia tidak diungkap dan tidak pula diperkarakan.
Otoritarianisme Orde Baru telah berulang kali menuduh para aktivis hak asasi manusia sebagai “agen asing” atau “agen Barat” sambil terus menimbulkan korban-korban atas bangsanya sendiri. Kita semua terus-menerus berusaha dibenamkan dalam perangkap kesadaran untuk melupakan kekejaman yang diperbuat Orde Baru atas bangsanya sendiri.
Nasionalisme Orde Baru tak peduli jatuhnya korban dari bangsanya sendiri yang terhempas menemui ajalnya sejauh kepentingan KKN tidak digugat rakyat. Bahkan dengan praktik yang berkualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) – kejahatan yang merupakan musuh seluruh umat manusia – jika perlu dilakukannya. Untuk menutupinya pejabat Orde Baru dan pewarisnya sering menangkalnya dengan pernyataan angkuh: “jangan campuri urusan dalam negeri Indonesia”.
Pembangunan yang terjadi di zaman Orde Baru pada awalnya bisa membuat pendapatan per kapita naik empat kali, dari sekitar US$ 250 sampai sekitar US$ 1.000 per kapita setahun. Namun kemudian Orde Baru ternyata hanya menyuburkan korupsi dan memperbesar kesenjangan sosial. Di lain pihak, secara statistik juga bisa dibuktikan bahwa tingkat kemiskinan berkurang. Tingkat kesejahteraan, yang bisa diukur dengan konsumsi per kapita beras, gandum, BBM, listrik, fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan sebagainya, semua naik banyak. Kalau sekarang, lima tahun sesudah digempur krisis ekonomi yang dahsyat, tingkat konsumsi publik masih cukup dan sebagian terbesar masyarakat tidak lapar dan merana –dibandingkan dengan tahun 1966– maka semuanya ini adalah hasil perbekalan dari zaman Orde Baru.
Sedangkan penanaman modal asing sangat diperlukan karena divestasi perusahaan-perusahaan yang karena krisis dikuasai oleh negara, dan juga akibat dari skema debt-equity swap yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang besar beban utangnya kepada pihak luar negeri. Begitu juga kebijakan lalu lintas devisa sudah tidak baik dipadukan dengan sistem nilai tukar mata uang tetap, tanpa fundamental ekonomi yang kuat terhadap pengaruh globalisasi. Memang pemerintahan yang buruk (bad governance)-tercermin dalam maraknya KKN -bukan penyebab utama masuknya Indonesia ke dalam krisis, tetapi hal itu jelas amat memperburuk keadaan.
Setting kapitalisme global terhadap Indonesia bukanlah suartu hal yang baru dilakukan. Kenaikan rezim Soeharto dulu sedikit banyaknya mendapat dukungan dari negara-negara maju. Setting itu juga dimainkan untuk menjatuhkan Soeharto dari kekuasaannya karena praktek korupsi cukup parah, dukungan yang tadinya diberikan lambat laun dicabut sampai akhirnya Soeharto terjungkal.
Pada masa krisis ekonomi sebelum kejatuhannya, Soeharto tampak setengah hati menjalankan kebijakan Bank Dunia dan IMF. Tetapi karena Soeharto tidak mau membubarkan anak-anak dan kroninya, renacana peminjaman dana itu ditarik kembali. Padahal sebagaian besar Bank-bank itu sudah dalam kedaan kacau.
Kelemahan Soeharto adalah terlalu membela anak-anak keluarga dan kroninya. Sehingga Bank Duniapun ditentangnya. Sehingga Saoeharto tidak dapat dukungan dan jatuh. Bahkan pengusaha dan militer sebagai penopang utama kekuasaannya pun pada akhirnya tidak memberikan dukungan karena sudah tidak melihat ada prospek lagi dalam kekuasaannya. Setelah Soeharto jatuh, Bank Dunia tidak serta merta dapat langsung melakukan kontrol terhadap penguasa baru di Indonesia.
Rezim pemerintahan Orde Baru yang pada waktu itu sudah memangalami banyak permasalahan tidak cepat-cepat membereskan masalahnya sehingga hanya mempersulit dan menambah beban bagi rakyat yang sudah lama merasa tidak puas. Ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahan semakin di tambah dengan naiknya-harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, lauk-pauk, BBM, yang notabene merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi rakyat.
Rezim Orde Baru Soeharto akhirnya punya banyak cacatnya yang menjadi fatal karena tidak terkoreksi secara dini. Seandainya Soeharto mau mundur pada pertengahan 1980-an dan cengkeraman sosial-politiknya bisa dikendurkan, keadaan mungkin sekali tidak separah sekarang. Negara, dan para pemimpinnya, yang mampu membanting setir demikian adalah RRC, yang sistem politiknya masih dikendalikan Partai Komunis, akan tetapi ekonominya direformasikan berdasarkan sistem pasar terbuka yang cukup bebas. Proses otonomi daerah di RRC senantiasa bisa dikendalikan Beijing, karena semua gubernur dan bupati diangkat dan diberhentikan pemerintah pusat.
Pembangunan politik dan ekonomi untuk negara besar seperti Indonesia selalu memerlukan pemerintah yang kuat. Ini hanya ada selama zaman Soeharto, tetapi dengan pengorbanan demokrasi politik dan sosial.
Satu-satunya masa pendek yang mungkin bisa kita pelajari kembali, kalau mencari percontohan, adalah masa 1950-1957. Pada masa itu, pengaruh asing (kebanyakan memang Belanda) masih kuat. Orientasi kebijakan ekonomi masih rasional dan terbuka terhadap interaksi dengan dunia luar. Kehidupan politik masih cukup demokratis, dan partai opisisi ada. Beberapa tokoh yang pragmatik berpengaruh di bidang ekonomi, yakni Bung Hatta, Sjafruddin, Djuanda, Leimena, Sumitro, Wilopo, dan sebagainya. Bung Karno masih ada dengan pengaruhnya yang karismatik dan menyatukan bangsa, akan tetapi ia belum menjadi penguasa utama. Tetapi, bibit-bibit perpecahan politik sudah ada, dan konflik dunia, demokrasi lawan komunisme, sudah mulai masuk ke negeri ini. Indonesia memang tidak pernah bisa mengasingkan diri dari pengaruh-pengaruh dunia, baik politik maupun ekonomi.
Dalam membangun negara, kita harus membedakan antara state building dan nation building. Dalam tahap pertama, kita lebih berhasil dalam hal nation building, dan jasa Bung Karno tidak boleh dilupakan. Nation building selama 50 tahun dilakukan dan dilestarikan berdasarkan wacana melting pot, seperti di Amerika, di mana suku-suku bangsa kaum imigran yang menyusun Amerika harus melebur diri menjadi prototipe bangsa Amerika yang Anglosax dan Protestan. Ika-nya lebih penting daripada bhinneka-nya. Setelah 50 tahun, model nation building ini harus kita tinggalkan. Kebinekaan harus lebih ditonjolkan, akan tetapi kesatuan bangsa dan negara harus dipelihara, kalau bisa secara alami, atas dasar keyakinan nasional bahwa hidup sebagai warga bangsa besar lebih sentosa daripada sebagai warga negara kecil.
Tetapi, terutama elite politik di Jakarta dan di Jawa, lagi pula TNI, harus mengubah wacana-wacananya. Sampai sekarang, konsensus yang praktis masih dicari.
State building rupanya jauh lebih sulit daripada nation building. Para peninjau asing yang kompeten (ahli ilmu politik) pada umumnya tidak terlalu menyangsikan bahwa Indonesia kelak pecah seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Semangat nasionalisme masih cukup kuat, walaupun sudah mengalami erosi. Yang membuat risiko besar perpecahan RI adalah bahwa pemerintahnya lemah. “Indonesia is not a failed state but a weak state”. Pemerintah di Jakarta lemah oleh karena terperangkap dalam proses demokratisasi.
Lemahnya pemerintah dan negara dewasa ini oleh karena alat-alat penegak kekuasaan tidak berfungsi: tentara, polisi, jaksa, hakim, sistem peradilan, dan sebagainya. Moral serta perasaan tanggung jawabnya dirusak oleh KKN dan oleh karena negara tidak bisa menjamin gaji dan balas jasa yang wajar. Maka, krisis ekonomi memperparah efektivitas aparat pemerintah dan negara. Anggaran belanja pemerintah terlalu digerogoti pembayaran kembali utang dan bunga. Beban utang ini ikut menyebabkan weak state. Ini mempermasalahkan untung dan ruginya bantuan internasional, juga peran asing (dan yang “nonpribumi”) di perekonomian kita.
Perlukah kita akan mereka, atau kita harus menegakkan kedaulatan serta kemurnian “negara pribumi” kita? Secara logis dan historis empiris, jawabnya: Indonesia tidak bisa keluar dari krisis dan kelemahan tanpa bantuan dari luar dan tanpa membuka diri terhadap unsur-unur asing dan yang non pribumi. Ada kalangan (politisi pribumi) yang secara bangga mengatakan, kita bisa berdiri sendiri berdasarkan kekayaan alam kita. Pengalaman zaman Bung Karno sudah memberi pelajaran. Tidak ada gunanya mengusir Belanda, Cina, asing Barat, dan menolak penanaman modal asing. Bung Karno pun membuat pengecualian: perusahaan minyak bumi asing (Caltex dan Stanvac) yang sudah ada tidak diusir karena hasil devisa diperlukannya.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
Kehidapan perekonomian pada zaman Orde Baru sudah berlalu sekitar belasan tahun yang lalu. Tapi pembahasannya masih cukup hangat sampai sekarang. Pada saat mulainya zaman Orde Baru, pemerintahan yang baru ini diwarisi dengan keadaan ekonomi yang parah. Yaitu dengan utang luar negri yang banyak sebesar 2,3-2,7 miliar, tingkat inflasi yang tinggi dan permasalah ekonomi dan poltik yang lain. Sehingga pada permulaan pemerintahan Orde Baru, pemerintah menempuh berbagai macam cara, seperti stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, membentuk kerja sama denagn luar negri, dan pembangunan ekonomi. Dengan berorientasikan pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan Negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Dan berharap dengan cara tersebut permasalahan yang ditinggalkan oleh Orde Lama bisa diselesaikan.
Dan terbukti dengan cara tersebut masalah-masalah tersebut mulai bisa di atasi dengan cepat. Itu teraplikasi dengan pemerintah mengeluarkan beberapa program pembangunan, yaitu PELITA (Pembangunan Lima Tahun), dan berjalan dengan lancar.
Tapi dibalik keberhasilan pemerintah, ada juga dampak negatif dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Seperti, terjadinya otoritas, KKN, dwifungsi ABRI/Polri, pembangunan yang tidak merata, fundamental pembangunan ekonomi yang sangat rapuh.
Kita sudah harus menyadari dengan penuh dan cerdas bahwa kejahatan-kejahatan Orde Baru telah memakan banyak korban, dari awal ia berdiri dan menunjukkan eksistensinya hingga kini ia diwariskan. Ia bahkan dengan berbagai cara dan intrik kotor berusaha keras memusnahkan cita-cita agung meraih “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kita mesti memutus rantai otoritarianisme Orde Baru secara konsisten.

Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Saat permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah.

Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS guna mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :
1.      Rendahnya penerimaan negara
2.      Tinggi dan tidak efisiensinya pengeluaran agama
3.      terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi
4.      impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
5.      Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:
1.      Mengadakan operasi pajak
2.      Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan  menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.

Orde Baru merupakan zaman yang telah lama berkuasa di indonesia yaitu kurang lebih selama 32 tahun. Pada masa pemerintahan itu terdapat banyak permasalahan, terutama yang berkaitan dengan masalah perekonomian yang terjadi pada rezim tersebut. Seperti kejadian stabilisasi ,rehabilitasi,inflasi ,dan permasalahan lainnya.
            Pada masa demokrasi terpimpin ini, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi yang berakibat mematikan potensi dan kreasi unit-unit swasta. Sehingga pada permulaan orde baru pemerintah berorientasi untuk berusaha menyelamatkan ekonomi nasional terutama pada usaha pengendalian tingkat inflasi dan penyelamatan keuangan negara serta pengamanan kebutuhan rakyat.


Maka dari itu pemerintah menempuh beberapa cara, antara lain:
1.Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi (Stabilisasi yang berarti mengendaliakan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak secara terus menerus,Sedangkan Rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi)
2.Mengadakan kerjasama dengan Negara Lain / Kerja Sama Luar Negri (Pemerintah mengikuti perundingan dengan Negara-negara kreditor di Tokyo Jepang pada 19-20 September 1966 yang menanggapi baik usaha pemerintah Indonesia bahwa devisa ekspornya akan digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku)
3.Pembangunan Nasional (Pedoman pembangunan nasional adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil)
Krisis Moneter yang melanda Indonesia pada awal Juli 1997. Pada peristiwa terjadinya Krisis Moneter ini telah berubah menjadi krisis ekonomi yang melanda seluruh pelosok negeri, yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur.
Krisis ekonomi tersebut tidak sepenuhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, melainkan ditambahi ataupun diperberat dengan terjadinya musibah-musibah nasional yang datang silih berganti di tengah kesulitan ekonomi yang sedang terjadi seperti terjadinya kegagalan panen padi di banyak wilayah Indonesia yang diakibatkan oleh musim kering yang berkepanjangan dan terparah selama 50 tahun terakhir, serta peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu.
Dari alasan-alasan di atas penulis berusaha melakukan pembahasan yang terjadi pada waktu itu. Penulis mencoba untuk mengetahui dan memaparkan hal-hal apakah yang terjadi era Orde Baru dalam perekonomian Indonesia, dan apa sajakah dampak yang ditimbulkan dari krisis moneter tersebut.

Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Awal Masa Orde Baru
Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Soeharto.
Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1.   Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :
a.  Rendahnya penerimaan Negara
b.  Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara
c.  Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank
d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2.        Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3.        Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara :
1.        Mengadakan operasi pajak.
2.        Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.

Krisis Moneter dan Faktor – faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentu tergantung dari ketepatan diagnosa.
Bank dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998,pp.17-1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997. Sebab yang kedua adalah kelemahan pada sistem perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
Penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadapa dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya :
1.    Dianutnya sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas didalam negeri atau diluar negeri. Valas bebas diperdagangkan didalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat pusat keuangan di luar negeri.
2.      Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai rupiah, yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetetif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata.
3.      Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan juga wessel et al.:22), ditambah sistem perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang  (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang bersalah disini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana keluar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi disini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, disamping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallay of thinking2, dimana pengusaha beramai ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena masing masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan  (bandingkan IMF, 1998:5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
4.    Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistem perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak invertensi dipasar valas karena tidak akan ada gunanya.
5.      Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistem ini meyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistem batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution : 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisisi (Nasution:1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidakmampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat (Wrold Bank, 1998:1.10).
6.      Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff 10;IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar daripada ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7.      Penanaman modal asing portpolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (Worl Bank, 1998, hal. 1.3,1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% pertahun sejak 1986 meyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun di coba ditahan dengan tingkat  bunga yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak pada investor luar negeri yang kurrang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5). Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p.2.1).
8.      IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran ddana bantuan yang dijanjikan dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik.
9.      Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal 22). Para spekulan ini pun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistem perbankan untuk bermain.
10.  Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, dimana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar.
11.  Daya saing  negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak pereusahaan Jepang melakuakn relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara Indonesia. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap Yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan (Ehrke: 2).
Di lain pihak harus diakui bahwa sektorr rill sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti pada orde baru ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan atau kelompok tertentu uang menguntungkan mereka dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli dii berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor rill dalam negeri, meskipun kelemahan sektor rill dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor rill saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah karena terdapat ketidakseimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS yang melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera di dahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat, dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar