I. ANALISA KEBIJAKAN MONETER
Kebijakan
Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat
berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang
beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar perekonomian menjadi
baik, baik disini maksudnya adalah terjadi kestabilan harga dan inflasi serta
terjadinya peningkatan output keseimbangan perekonomian. Melalui kebijakan moneter, Pemerintah dapat
mengatur jumlah uang yang beredar pada masyarakat, diatur dengan cara menambah
atau mengurangi jumlah uang yang beredar dalam upaya untuk mempertahankan
ekonomi bertumbuh sekaligus untuk mengedalikan inflasi.
Indonesia
pun tidak luput dari kebijakan moneter tersebut. Di Indonesia, beberapa kali
kebijakan moneter diambil untuk mengantisipasi inflasi yang terjadi di
Indonesia. Kebijakan moneter tersebut hamper setiap tahun dilakukan untuk
menekan inflasi yang ada. Kebijakan moneter tersebut diambil dengan memunculkan
berbagai macam kebijakan public yang harus ditaati oleh seluruh warga Negara
Indonesia. Adapun kebijakan moneter sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a.
Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat
(permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
b.
Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy).
Untuk menjalankan kebijakan moneter diatas, pemerintah
memiliki 3 Instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang
beredar. Operasi Pasar Terbuka (Open
Market Operation), Fasilitas Diskonto (Discount
Rate), dan Rasio Cadangan Wajib (Reserve
Requirement Ratio). Diluar dari 3 instrument tersebut (yang menrupakan
kebijakan moneter bersifat kuantitatif), pemerintah dapat melakukan himbauan
moral (Moral Persuasion.
a) Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan
uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah
(government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah
akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang
beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah
kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI
atau singkatan dari Sertifikat Bank
Indonesia dan SBPU atau singkatan
atas Surat Berharga Pasar Uang.
b) Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah
uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum.
Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank
sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat
bunga bank sentral (tingkat diskonto). Dengan tingkat Bungan pinjaman yang
lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk meminjam uang dari bank sentral
menjadi lebih besar, sehingga uang yang beredar bertambah. Sebaliknya bila
ingin menahan laju pertambahan jumlah uang yang beredar, pemerintah menaikkan
bunga pinjaman. Hal ini akan mengurangi minat bank-bank meminjam uang dari bank
sentral, sehingga pertambahan jumlah uang beredar dapat ditekan.
c) Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah
uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus
disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan
rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah
menaikkan rasio.
d) Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah
uang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya
seperti menghimbau perbankan agar memberikan kredit secara hati-hati untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang
lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
2.
Analisis
Aspek Kelembagaan Pada Kebijakan Moneter di Indonesia
Kebijakan Moneter di Indonesia adalah suatu
kebijakan yang diambil untuk mengatasi inflasi yang ada di Indonesia. Untuk
membuat kebijakan tersebut, hanya ada 2 instrument utama yang memiliki
kekuasaan. Langkah kebijakan moneter di Indonesia dapat diambil oleh Pemerintah
Indonesia dimana lembaga yang berhak menjalankan kebijakan moneter tersebut
adalah Bank Sentral yang ada di Indonesia. Dalam hal ini kebijakan moneter yang
ada di Indonesia yang dimaksud adalah Bank Indonesia. Bank Sentral adalah bank
yang mempunyai hak monopoli untuk mencetakdan mengedarkan uang sebagai alat
pembayaran yang sah dalam suatu Negara. Tujuan Bank Sentral untuk mencapai dan
memelihara kestabilan rupiah. Adapun fungsi dari Bank Sentral adalah
Banker’s bank
Sebagai Bank pemerintah
Mencetak Uang dan Penyediaan Uang bagi perekonomian
Mengatur Pasar Uang dan Pasar Modal
Mengawasi Bank – Bank dan lembaga Keuangan
Melaksanakan kebijakan Moneter di Indonesia
Contohnya :
rasio
cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang
diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang
diterima perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari system perbankan
adalah 10. Namun bila pemerintah menetapkan rasio cadangan wajib sebesar 20%,
maka dari setiap deposito yang diterima, perbankan hanya dapat mengalirkan
pinjaman sebesar 80% dari deposito yang diterima oleh perbankan. Untuk pertama
kalinya sejak Pakto 1998, Bank Indonesia menggunakan rasio cadangan wajib guna
mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi, yaitu dengan
menetapkan menetapkan rasio menjadi 3% pada Februai 1996. Sejak April 1997
besarnya rasio cadangan wajib adalah sebesar 5%.
3. Analisa
Capital Flight di Indonesia dan Cara Mengatasinya
Capital Flight sebenarnya bukan hal baru
dikalangan para ekonom. Secara teoritis capital flight telah banyak dibicarakan.
Namun sampai saat ini belum ada definisi capital flight yang dapat diterima
secara umum. Tetapi beberapa tahunh ini penggunaan kata capital flight sering
dikaitkan pada negara-negara sedang berkembang, dimana terjadi sejumlah besar
modal keluar (capital outflow) yang diiringi oleh adanya peningkatan hutang
luar negeri.
Pendapat mengenai capital flight dikemukakan
oleh Mohsin Khans-Ulhaque (1987) yang mendefinisikan capital flight sebagai
semua arus modal keluar (capital outflow) dari negara sedang berkembang dengan
tidak memperhatikan latar belakang terjadinya arus modal tersebut dari dalam
negeri dan jenis modal tersebut. Diartikan sebagai capital flight karena pada
umumnya modal dinegara sedang berkembang kurang(langka), maka arus modal keluar
dapat berarti menghilangkan potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada
gilirannya menghilangkan pula potensi pertumbuhan ekonomi.Sementara Cuddington
(1986) mengartikan capital flight
sebagai semua arus modal keluar jangka pendek (short term capital outflow) baik
yang tercatat mauipun yang tidak tercatat.
Hampir tidak mungkin tidak memastikan jumlah
capital flight dari suatu negara, terutama bagi negara-negara yang menganut
sistem devisa bebas. Bahkan untuk negara yang menganut devisa ketat sekalipun,
seperti Taiwan, arus modal tetap saja keluar tanpa diketahui oleh otoritas
moneter negara tersebut. Oleh karena itu, metode yang lebih tepat untuk
menggrafikkan besarnya capital flight dari suatu negara adalah dengan melakukan
estimasi. Apapun untuk melakukan estimasi mengenai capital flight dapat
dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan yakni:
a.
Pendekatan Komputasi Neraca Pembayaran
b.
Pendekatan Residual
c.
Pendekatan Deposito Bank
Di Indonesia pernah
mengalami kasus capital flight. Bahkan jika diteliti lebih jauh, keadaan yang
sebenarnya adalah Indonesia setiap tahun mengalami capital flight dengan
estimasi besaran yang tidak dapat diketahui secara pasti. Kasus capital flight
yang pernah diteliti adalah pada tahun 1996 sampai dengan 2009. Penelitian
capital flight ini dilakukan oleh Kus Virgantari dari Universitas Indonesia
dengan menggunakan data yang ada pada tahun 1996 s/d 2009.
Dari penelitian tersebut,
diketahui bahwa Indonesia mengalami capital flight tertinggi pada tahun 1997
menuju ke tahun 1998 dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di asia tenggara.
Kemudian capital flight kembali terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus
Bom Bali dan juga kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Setahun
kemudian pada tahun 2006 kembali terjadi kasus capital flight karena penurunan
suku Bunga SBI. Dan terakhir terjadi pada tahun 2008 karena adanya krisis
global yang juga melanda Indonesia.
Untuk mengatasi masalah
capital flight tersebut, dapat dilakukan beberapa cara agar capital flight
dapat diredam di Indonesia. Jika capital flight tidak dapat diredam lajunya,
maka Indonesia akan menjadi terpuruk karena kurangnya investasi yang terjadi.
Cara yang dapat dilakukan adalah:
1. Kebijakan yang tidak terlalu mengontrol tingkat suku
bunga tetapi menjamin kepemilikan modal dan aset milik orang asing.
2. Kebijakan yang menjamin stabilitas politik dan
makroekonomi secara umum. (inflasi yang terkendali, pengangguran rendah,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan nilai tukar yang stabil).
3. Penetapan pajak yang tidak terlalu tinggi dan adanya
asuransi bagi investor
4.
Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang
Devaluasi mata uang adalah suatu tindakan
penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing lainnya yang
dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter yang mengadopsi sistem nilai
tukar tetap. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila rezim yang
mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya
dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai
mata uang tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang
bersangkutan.
Mata
uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari
perbedaan inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan
segera mengalami penurunan nilai namun dalam sistem nilai tukar tetap proses
penyesuaian tersebut tidak berlaku secara otomatis karena penyesuaian nilai
tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah. Tanda-tanda suatu mata uang
yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus menurun dan
industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja. Adapun tujuan dari
devaluasi adalah
1.
Mendorong ekspor dan membatasi impor. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki
posisi balance of payment, BOP dan balance of trade, BOT agar menjadi
equilibrium atau setidaknya mendekati equilibrium.
2.
Mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Hal ini dapat
dicapai karena nilai barang impor menjadi lebih mahal dibanding barang lokal,
atau domestik.
3.
Dengan tercapainya kesetimbangan BOP diharapkan nilai kurs valuta asing
dapat menjadi relatif stabil.
Tindakan
Devaluasi yang diambil oleh pemerintahan dapat mempengaruhi aktivitas
perekonomian baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka
panjang.Dalam jangka pendek, tindakan devaluasi dapat menggeser pengeluaran
atau expenditure switching dari komsumsi produk luar negeri kepada konsumsi
produk dalam negeri.Pergeseran konsumsi ini dapat berakibat terhadap kenaikan
harga barang dan jasa dalam negeri. Kenaikan harga ini akan berpengaruh
terhadap konsumsi masyarakat. Konsumsi masyarakat cenderung turun.
Penurunan
konsumsi dapat menyebabkan turunnya aktivitas ekonomi yang dapat mendorong
terjadinya deflasi. Kondisi ekonomi ini dapat mengakibatkan terjadinya resesi
ekonomi.Dalam jangka menengah, tindakan devaluasi dapat memperbaiki posisi
balance of payment, atau BOP dan balance of trade, atau BOT melalui mekanisme
elastisitas permintaan ekspor dan impor sesuai dengan
Marshall-Lerner-Condition. Selain itu, devaluasi dapat juga memperbaiki posisi
BOP melalui mekanisme moneter.
Dampak jangka panjang merupakan akibat dari
dampak yang terjadi pada jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek
terjadi perubahan harga produk dan pergeseran konsumsi diikuti dengan
peningkatan aliran modal atu devisa pada jangka menengah. Dampak ini
menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau production switching, baik yang
menyangkut tradeable goods maupun nontradeable good. Pergeseran produksi ini
dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi secara nasional.
Ada beberapa pengaruh dari devaluasi:
1.
Efek terhadap aliran barang (komoditi)
2.
Efek terhadap harga luar negeri
3.
Efek terhadap harga dalam negeri
4.
Efek terhadap kuantitas nilai tukar yg diminta
5.
Efek terhadap kuantitas nilai tukar yang ditawarkan
6.
Efek terhadap Term of Trade (TOT)
7.
Efek terhadap Balance Of Trade (BOT)
8.
Efek terhadap konsumsi domestik dan produksi domestic
Berkaitan dengan kurs mata uang asing, di samping kurs
itu dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing yang
bersangkutan, pemerintah juga sering mengambil kebijakan penentuan kurs.
Kebijakan tersebut bisa berupa devaluasi maupun revaluasi.
Devaluasi
adalah kebijakan menurunkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing.
Misalnya, semula US$ 1=Rp 400,00 lalu menjadi US$=Rp 650,00 (devaluasi pada
tanggal 15 November 1978). sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaikkan
nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing.
Perlu di cacat
bahwa penurunan nilai rupiah terhadap mata uang asing pada masa krisis moneter
di Indonesia (sejak 1997) tidaklah termasuk devaluasi, sebab bukan
merupakan kebijakan pemerintah. Penurunan nilai akibat tarik menarik
antara permintaan dan penawaran terhadap mata uang rupiah di pasar
internasional dan nasional.
Dengan
devaluasi, nilai mata uang asing terhadap Rupiah menjadi naik. Akibatnya, harga
barang-barang impor menjadi sangat tinggi jika dinilai dengan rupiah. Harapan
pemerintah, dengan kebijakan ini impor dapat dikurangi. Sebaliknya,
barang-barang yang kita ekspor ke luar negeri menjadi turun nilainya jika mata
uang importirnya bukan rupiah (sekalipun dilihat dari rupiah tidak turun).
Karena nilai barang-barang ekpor kita di luar negeri lebih rendah maka
diharapkan volume ekspor bisa naik (bisa bersaing di pasar internasional).
Dengan adanya
kenaikan ekspor dan penurunan impor, diharapkan perusahaan-perusahaan di dalam
negeri bisa berkembang. Akibatnya, akan dapat menyerap tanaga kerja yang
menganggur dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
Namun,
devaluasi juga mempunyai dampak negatif. Adanya devaluasi membuat harga-harga
di dalam negeri mejadi naik. Selain itu, orang-orang Indonesia yang mempunyai
utang luar negeri dalam bentuk mata uang asing menjadi terpukul sebab utang
tersebut menjadi membengkak jika dilihat dari Rupiah.
Contoh:
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia harus membeli US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus mengeluarkan Rp 400 juta. Namun, apabila ia harus membayar utangnya setelah 15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp 650 juta ini berarti, devaluasi mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar Rp250 juta. “tambahan” utang ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia harus membeli US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus mengeluarkan Rp 400 juta. Namun, apabila ia harus membayar utangnya setelah 15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp 650 juta ini berarti, devaluasi mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar Rp250 juta. “tambahan” utang ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.
Kebijakan
Moneter Orde Lama
Kebijaksanaan pemerintah
pada masa ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan semua
factor dari unsur-unsur peninggalan orde lama, tertama dari paham komunis.
Selain itu kebijaksanaan pemerintahan dalam mengupayakan penurunan tingkat
inflansi yang masih sangat tinggi. Kebijakan ini cukup berhasil menekan inflasi
dari +/- 650% menjadi hanya +/- 10% saja,suatu prestasi ekonomi yang tidak
kecil.Kebijakan di bidang moneter dengan tujuan untuk menaikkan hasil produksi
nasional,serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor,yang pada masa ini
menjadi lemah karena :
1.
Adanya inflasi yang besarnya rata-rata 34%,sehingga komoditi ekspor Indonesia
menjadi mahal di pasar dunia,akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk
sejenis dari Negara lain.
2.
Adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979.
Pada Awal Masa Orde Baru
Di awal Orde
Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan
berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama
memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,”
kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Soeharto.
Untuk
menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang berbeda
jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau lakukan dengan
menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi
pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk
menarik modal.
Setelah
itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan Kebijakan
ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan
mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Mendobrak
kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan,
seperti rendahnya
penerimaan Negara, tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak dan tidak
produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan
devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2.
Debirokratisasi
untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3.
Berorientasi
pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh
cara:
1. Mengadakan
operasi pajak.
2. Cara pemungutan
pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak
sendiri dan menghitung pajak orang.
3.
memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya
penerimaan Negara, tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak dan tidak
produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan
devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana
4. Debirokratisasi
untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
5. Berorientasi
pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan
langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara :
1. Mengadakan
operasi pajak.
2. Cara pemungutan
pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak
sendiri dan menghitung pajak orang.
Jadi
Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek
kehidupan. Dengan tujuannya untuk
terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada
TrilogiPembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1.
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pembangunan
nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Kebijakan moneter pada
dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan
internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan
pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta
tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat
diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran
internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian
terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan
stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh
sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
6. Analisa Fenomena Kebijakan
Moneter Yang Terjadi di Indonesia dan Cara Mengatasinya
Pada periode 1960-1965,
perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik. Doktrin
ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia
akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak mengherankan,
jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah,
laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan investasi
merosot tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI)
dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang rupiah
juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada pemerintah,
serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada lembaga-lembaga
negara dan pengusaha.
Mulanya pada tahun 1959,
pemerintah telah melakukan kebijakan pengetatan moneter sebagai upaya mengatasi
tekanan inflasi. Kebijakan pengetatan moneter 1959 tersebut antara lain
dilaksanakan dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit bagi tiap-tiap bank
secara individual pada tanggal 8 April 1959. Selain itu, pemerintah dengan
Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering uang pada tanggal
25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000
menjadi Rp 50 dan Rp 100, serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959 membekukan
simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000 yang akan
diganti menjadi simpanan jangka panjang. Penanganan laju inflasi ini terus
berlangsung hingga awal 1960-an dengan melakukan pembatasan kredit perbankan
secara kuantitatif dan kualitatif.
Dalam paket kebijakan
moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah sebesar 74,7% dari Rp
11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD. Penurunan nilai rupiah tersebut, tidak
berlaku dalam perhitungan laba maupun pendapatan yang dikenakan pajak dan tidak
diperhitungkan dengan pajak apapun. Pada periode ini ditetapkan pula kebijakan
mengenai pungutan ekspor-impor yang dikaitkan dengan harga valuta rupiah.
Ketentuan itu mewajibkan eksportir untuk menyerahkan pungutan ekspor sebesar
20% dari harga penjualan sedangkan importir diwajibkan untuk membayar pungutan
impor -besarnya berkisar 0-200%, bergantung pada jenis barang impor- kepada
pemerintah.
Pada paruh pertama periode
1960-an, pengeluaran anggaran pemerintah semakin besar, terutama dalam
pembiayaan proyek pemerintah yang menambah dampak inflatoir dari pelaksanaan
keuangan negara. Untuk mengatasi perkembangan ini, pada tanggal 13 Desember 1965,
pemerintah menerbitkan uang rupiah baru yang nilainya diciutkan. Nilai Rp 1.000
-uang lama- diturunkan menjadi Rp 1 -uang baru. Berikutnya, untuk
mempertahankan cadangan devisa yang terus menurun pada periode ini, pemerintah
melakukan pengawasan terhadap sumber devisa yaitu lalu lintas perdagangan serta
penerimaan dan pengeluaran devisa di bidang jasa-jasa serta pengawasan modal
untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Pada masa demokrasi terpimpin,
politik luar negeri Indonesia lebih cenderung berpihak kepada blok timur.
Kedekatan Indonesia dengan Cina dan Rusia menyebabkan renggangnya hubungan
Indonesia dengan negara-negara blok barat.
Kemudian, dengan alasan
semangat revolusi dan berdikari, pada tanggal 17 Agustus 1965, pemerintah
memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan IMF, Bank Dunia, dan PBB. Dengan
penarikan diri tersebut, rencana-rencana pengembalian utang atas Outstanding
Drawing -sesuai dengan jadwal yang telah disepakati diganti dengan persetujuan
Settlement of Account. Utang kepada IMF sejumlah USD 61,9 juta menjadi USD 63,5
juta. Jumlah tersebut, termasuk bunga utang yang akan dilunasi dalam 10 kali
angsuran per 6 bulan, terhitung sejak tanggal 17 Februari 1966. Keadaan ekonomi
yang semakin tak menentu pada periode ekonomi terpimpin mendorong pemerintah
untuk melarang penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia dan Statistik Moneter.
Larangan penerbitan tersebut dilakukan demi menjaga stabilitas perekonomian
Indonesia.
Kebijakan moneter
merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk mengatur jumlah
uang dalam perekonomian guna mengatasi masalah-masalah makro ekonomi seperti
inflasi, pengangguran dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter
dilakukan dengan cara pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang beredar dapat
membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil, sekaligus
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi adalah suatu
keadaan di mana harga-harga pada umumnya meningkat. Tiga sektor yang
memungkinkan terjadinya inflasi adalah: (1) ekspor-impor; (2) tabungan dan
investasi; serta (3) penerimaan dan pengeluaran negar Inflasi tidak akan
terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek penyebab inflasi dapat
dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor swasta. Tekanan inflasi akan
timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada
penerimaannya, sedangkan pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila
bankbank mengucurkan kredit yang besar guna memenuhi pinjaman sektor swasta
tersebut untuk kegiatan-kegiatan, baik lapangan investasi maupun non investasi.
Untuk mengatasi inflasi, bank sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan
membatasi pemberian kredit atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga
cara: kebijakan diskonto, operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.
Kebijakan
Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960,
kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat
akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal
ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah untuk membiayai
proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan
Conference of the Emerging Forces (Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan
moneter di seluruh wilayah Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah
menerbitkan sebuah alat pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah
Indonesia melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965. Ketentuan tersebut
mencakup nilai perbandingan antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama dan
uang rupiah khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1
(baru) = IB Rp 1-, serta pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia, uang
kertas dan uang logam pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya
Penpres tersebut. Sejak saat itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru
dan uang rupiah lama beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme
tersebut, semua instansi swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah
baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta keperluan administrasi
keuangan. Meskipun uang rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak
berarti bahwa harga-harga menjadi seperseribu harga lamanya. Kebijakan ini
justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu
negara terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang
berbeda-beda. Hal itu tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara
tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun
waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru
untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi
Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada
saat kondisi perekonomian sedemikian berkembang sehingga perekonomian barter
(perekonomian yang mensyaratkan double coincidence ofwant) dirasakan
tidak memadai. Uang memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian.
Hal ini dapat dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar, alat pengukur
nilai, ukuran pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda
diantara sekian banyak benda dalam pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai
karena masyarakat mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai
uang berhubungan erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya. Dengan
kata lain, naik turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum permintaan dan
penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud dengan nilai uang adalah
jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan oleh orang lain kepada kita
sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita berikan kepadanya. Naik turunnya
nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan masyarakat
untuk menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan cenderung menaikan
nilai uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada situasi di mana orang
terus membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan
akan menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas
di lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi
semakin berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan
meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun akan
menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mengatasi
inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah
satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi
pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluru wilayah
Republik Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965
tanggal 13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru
dengan perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain
dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh
wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
Arah kebijakan 1959-1966
Awal periode ini ditandai
dengan tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu memotong nilai
uang sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan simpanan masyarakat untuk
dijadikan simpanan jangka panjang. Dana simpanan masyarakat pada perbankan yang
dibekukan tersebut harus disetorkan kepada Pemerintah. Akibatnya perbankan
mengalami kesulitan likuiditas.
Di bidang politik,
Pemerintah menerapkan GBHN baru yang dinamai Manipol (Manifesto Politik) USDEK
(Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Di bawah era Manipol USDEK ini maka seluruh
unsur sumber daya dikerahkan untuk mendukung perjuangan revolusi, yaitu
perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, bebas dari penjajahan dan
bersatu padu membangun kepribadian & karakter bangsa. Pembangunan bidang
politik tersebut disertai dengan pembangunan prasarana yang secara ekonomis
tidak produktif, atau terkenal dengan sebutan pembangunan proyek mercusuar. Di
samping itu, APBN juga terbebani oleh berbagai pengeluaran baru seperti biaya
konfrontasi dengan Malaysia, pembebasan Irian Barat dari Belanda dan kenaikan
gaji pegawai negeri.
Di bidang ekonomi,
pembangunan sektor riil masih juga belum menunjukkan adanya perkembangan
sehingga pasokan barang, terutama pangan tetap mengalami kekurangan. Dampak
dari berbagai kondisi tersebut menimbulkan pembengkakan defisit APBN yang
semakin kronis yang disertai pula oleh defisit cadangan devisa. Sama seperti
pada periode sebelumnya, defisit APBN tersebut ditutuap dengan Uang Muka dari
bank Indonesia yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan uang. Oleh
karena itu uang beredar semakin banyak dan terjadilah hyperinflasi. Tahun
1965/1965 kenaikan inflasi mencapai 635,5% yang sekaligus merupakan inflasi tertinggi
sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Arah kebijakan moneter ditujukan
untuk menekan inflasi tersebut.
Kebijakan Devisa 1959-1966
Pada periode ini rezim
devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung semakin diperketat
melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor berbagai jenis
barang.Terjadinya keguncangan pasar di luar negeri pada tahun 1960 an
mengakibatkan kemorosotan penerimaan devisa terutama dari ekspor karet yang
menjadi komoditas utama pada waktu itu. Munculnya berbagai jenis karet sintetis
juga memberikan tekanan/ persaingan terhadap hasil ekspor karet Indonesia. Di
samping itu, naiknya impor beras juga sangat membebani cadangan devisa
Indonesia. Untuk mengatasi berbagai tekanan tersebut, Pemerintah sejak tahun 1964
semakin memperketat kebijakan devisa untuk keperluan impor dan memberikan
berbagai insentif bagi upaya peningkatan ekpor.
Pada akhir tahun 1964
Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas
Devisa untuk menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen
Verordening Tahun 1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka
devisa yang dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana
devisa. Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak dengan
cara menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara menetapkan
penggunaannya melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah pelarian modal
ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk
cadangan devisa terus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif
bagi upaya peningkatan ekspor.
Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus
1959, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dimaksudkan untuk
meringankan beban APBN, memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju
inflasi. Isi paket itu terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan
penyempurnaan kebijakan devisa serta ketentuan-ketentuan perdagangan
internasional.Devaluasi yang dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari
Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per USD1,- Devaluasi ini selain mampu meningkatkan
ekspor dan mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen
Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga mengakibatkan naiknya
inflasi.
Turunnya harga karet di
pasar dunia pada waktu itu merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor
Indonesia serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang masih terus
berlanjut, mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut
kemudian diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum melalui
pemberlakuan kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan
ini, setiap penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan
nilai tukar sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu,
kepada importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai
golongan barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan II
dan Rp.810 untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan
beberapa kali, terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai
tukar baik bagi eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000%
(empat ribu persen) dari kurs tetap Rp45,- per USD1.
Dengan lain perkataan,
nilai tukar tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam pelaksanaannya
dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple exchange rate
system.
Kebijakan Utang Luar Negeri 1959-1966
Dalam usaha untuk
meringankan beban anggaran negara, dan memperbaiki posisi neraca pembayaran,
salah satu kebijakan yang ditempuh Pemerintah adalah melalui pinjaman dana dari
luar negeri. Seiring dengan adanya perubahan politik luar negeri, utang luar
negeri pemerintah sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara blok Timur,
seperti dari RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain dipergunakan untuk
membiayai pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga dipergunakan untuk
membiayai proyek yang tidak produktif, seperti untuk konfrontasi dengan
Malaysia tahun 1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah tersebut telah
menambah berat beban Pemerintah bila diukur dengan kemampuan membayar kembali
baik dari sisi keuangan negara atau tersedianya devisa yang berasal dari
ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia
telah mendapat dua pinjaman luar negeri yakni dari Exim Bank sebesar USD 6,9
juta untuk perluasan Pabrik Semen Gresik dan USD 5 juta untuk pembelian pesawat
Lockheed Electra. Kemudian pada awal 1960, USEximbank juga telah
menjanjikan pemberian pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni untuk membantu
pendirian pabrik Urea di Palembang dan pembangunan proyek listrik Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang cukup besar terjadi
pada tahun 1961 dan 1962 yakni utang yang diperoleh dari USSR, dan pada tahun
1963 telah diperoleh utang baru dari RRC.
Kebijakan
fiscal dan kebijakan moneter
Jika kita berbicara
tentang perekonomian Indonesia, yang akan terpikir di benak kita adalah tentang
kondisi dan keadaan ekonomi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat
diukur dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan
Produk Domestik Bruto (PDB). pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan
kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah. Pemerintah mempunyai
berbagai kebijakan untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian
Indonesia.
Yang pertama adalah
kebijakan fiskal. kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
kebijakan fiskal mempunyai
berbagai bentuk. salah satu bentuk kebijakan fiskal yang sedang marak adalah
BLT. banyak orang melihat BLT hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu.
sebenarnya di balik itu ada tujuan khusus dari pemerintah. BLT diharapkan mampu
meningkatkan pendapatan masyarakat. dengan meningkatnya pendapatan masyarakat,
daya beli masyarakat juga meningkat. dengan demikian permintaan dari masyarakat
juga meningkat. meningkatnya permintaan dari masyarakat akan mendorong produksi
yang pada akhirnya akan memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia.
Contoh lain dari kebijakan
fiskal adalah proyek-proyek yang diadakan oleh pemerintah. katakanlah
pemerintah mengadakan proyek membangun jalan raya. dalam proyek ini pemerintah
membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. dengan kata lain proyek
ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. hal ini membuat pendapatan orang yang
bekerja di situ bertambah. dengan bertambahnya pendapatan mereka akan terjadi
efek yang sama dengan BLT tadi.
Kebijakan fiskal juga
dapat berupa kostumisasi APBN oleh pemerintah. misalnya dengan deficit
financing. defcit financing adalah anggaran dengan menetapkan pengeluaran >
penerimaan. deficit financing dapat dilakukan dengan berbagai cara. dahulu
pemerintahan Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara memperbanyak utang
dengan meminjam dari Bank Indonesia. yang terjadi kemudian adalah inflasi
besar-besaran (hyper inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat
banyak. untuk menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat.
sayangnya, rakyat tidak mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada
pemerintah. akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri.
Tidak hanya Indonesia,
tetapi Amerika Serikat juga pernah menerapkan deficit financing dengan
mengadakan suatu proyek. proyek tersebut adalah normalisasi sungan Mississipi
dengan nama Tenesse Valley Project. proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi
banjir. proyek ini adalah contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya.
dengan adanya proyek ini pengeluaran pemerintah memang bertambah, tetapi
pendapatan masyarakat juga naik. pada akhirnya hal ini akan mendorong kegiatan
ekonomi agar menjadi bergairah.
mari kita mengingat
sedikit kejadian pada akhir tahun 1997 saat terjadi krisis moneter di
Indonesia. pada saat itu nasabah berduyun-duyun mengambil uang di bank
(fenomena bank rush) karena takut bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk
mengembalikan tabungan mereka. untuk mengatasi masalah ini bank-bank umum
diberi pinjaman dari Bank Indonesia yang disebut Bantuan Langsung Bank
Indonesia (BLBI). Pada saat itu memang seluruh tabungan dijamin oleh
pemerintah, maka dari itu pemerintah juga harus mengambil tindakan saat terjadi
fenomena tadi.
Seharusnya saat suatu
perusahaan (termasuk bank umum) kekurangan modal pemilik harus menambah
modalnya pada perusahaan tersebut. ini berlaku pada umum dan pemerintah. jika
pemerintah kekurangan dana, pemerintah bisa menambah dana dengan menjual saham
yang dimiliki pemerintah. perlu diingat, ada beberapa perusahaan yang sahamnya
dimiliki pemerintah. Kebijakan yang kedua adalah kebijakan moneter. kebijakan
moneter adalah kebijakan dengan sasaran mempengaruhi jumlah uang yang beredar.
jumlah uang yang beredar dapat dipengaruhi oleh Bank Indonesia. selain dengan
langsung menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar, mengatur jumlah
uang yang beredar juga bisa menggunakan BI Rate. BI rate adalah instrumen dari
pemerintah untuk acuan seberapa besar bunga simpanan jangka pendek, misalnya
Surat Berharga Indonesia. biasanya bank-bank umum akan menaikkan atau menurunkan
suku bunganya seiring dengan naik atau turunnya BI Rate. maka dari itu, saat BI
Rate diturunkan, suku bunga kredit juga turun, sehingga biaya investasi ikut
turun. dari sini, diharapkan investasi meningkat.
Kebijakan moneter juga
mengatur tentang giro wajib minimum, yaitu jumlah simpanan bank umum di Bank
Indonesia yang merupakan sebagian dari titipan pihak ketiga. saat ini giro
wajib minimum sebesar 8 % dari titipan pihak ketiga. Kebijakan moneter juga
berpengaruh dalam perdagangan internasional dengan mengendalikan tarif ekspor
impor. jika tarif impor naik, dorongan untuk impor berkurang. jika tarif impor
turun, dorongan untuk ipmpor bertambah dan harga barang-barang impor menjadi
lebih murah. Sedikit tambahan, sekitar 95 % kapas yang digunakan sebagai
produksi di Indonesia adalah hasil impor. dalam kasus ini industri katun
sebagai hasil olahan kapas dalam negeri akan turun jika tarif impor naik.
satu lagi kebijakan yang
dimiliki pemerintah Indonesia adalah kebijakan sektoral. kebijakan ini menitikberatkan
pada satu dari sembilan sektor perekonomian di Indonesia. misalnya, di sektor
pertanian pemerintah memberikan subsidi pupuk. subsidi ini diberikan agar harga
pupuk murah. dengan demikian pupuk akan terdorong untuk dipakai. contoh lainnya
adalah kebijakan di sektor industri. di sektor ini pemerintah membuat kebijakan
kawasan ekonomi khusus. kawasan ekonomi khusus adalah kawasan yang khusus
digunakan untuk pendirian industri. misalnya, kawasan industri Cilacap. kawasan
ini mempunyai hak khusus, misalnya di Batam impor bahan mentah tidak terkena
pajak, sehingga hal ini akan mendorong produksi di sana.
II. KELEMBAGAAN SOSIAL
Ilmu ekonomi yang berkembang dalam
cabang barunya ilmu ekonomi institusi baru (neo institutional economics)1
melihat kelembagaan dari sudut biaya transaksi (transaction costs) dan
tindakan kolektif (collective action). Di dalam analisis biaya transaksi
termasuk analisis tentang kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam atau
faktor produksi (property rights) , ketidak-seimbangan akses dan penguasaan informasi (information
asymmetry) serta tingkah laku opportunistik (opportunistic behaviour).
Ilmu ekonomi institusi baru ini sering pula disebut sebagai ilmu ekonomi biaya
transaksi (transaction costs economics) sedangkan yang lain menyebutkannya
sebagai paradigma informasi yang tidak sempurna (imperfect information
paradigm) (Stiglitz, 1986).
Kelembagaan dalam Bahan Ajaran ini adalah:
”suatu tatanan dan pola
hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang
dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang
diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor
pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal
untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai
tujuan bersama.”
A. Unsur-Unsur Kelembagaan
Dari berbagai definisi yang ada,
dapat kita rangkum berbagai unsur penting dari kelembagaan, di antaranya
adalah:
ØInstitusi merupakan landasan untuk membangun
tingkah laku sosial masyarakat;
ØNorma tingkah laku yangmengakar dalam
masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang
mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang
terstruktur;
ØPeraturan dan penegakan
aturan/hokum;
ØAturan dalam masyarakat
yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak
dan kewajiban anggota;
ØKode etik;
ØKontrak;
ØPasar;
ØHak milik (property
rights atau tenureship);
ØOrganisasi;
ØInsentif untuk
menghasilkan tingkah laku yang diinginkan.
B. Pembedaan Kelembagaan dan Organisasi
timbul. Pertama,
kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung modern.
Kelembagaan merupakan sesuatu yang tradisional, atau tidak modern. Cara
berpikir seperti ini merupakan ciri khas ideologi modernisasi yang menuntut
keseragaman dalam segala hal, baik manajemen maunpun kelembagaan. Pembedaan
atas tradisional dan modern ini sejalan dengan pembedaan yang diajukan oleh
Horton dan Hunt (1984: 211): “… institution
do not have members, they have followers”.
Kedua,
kelembagaan dari masyarakat itu sendiri dan organisasi datang dari atas. Cara
pembedaan ini relatif mirip dengan pembedaan di atas, namun ini tidak dalam
konteks tradisional-modern, namun bawah-atas. Kelembagaan dan organisasi
merupakan bipolar yang secara diametral dapat dipertentangkan. Keduanya
merupakan social form yang berada pada dua ujung garis kontinuum: kelembagaan
berada di sebelah kiri, dan organisasi di sebelah kanan.
Ketiga,
kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum, dimana organisasi
adalah kelembagaan yang belum melembaga. Menurut Norman Uphoff (1986: 8),
tujuan akhir adalah organisasi yang melembaga, atau kelembagaan yang memiliki
aspek organisasi. Jadi, mereka hanya berbeda dalam tingkat penerimaan di
masyarakat saja. Organisasi dipandangnya hanyalah sebagai sesuatu yang akan
dilembagakan. Pendapat ini sedikit banyak juga berasal dari dari Huntington
(1965: 378) yang menyatakan: “Organization and procedures vary in their
degree of institutionalization……Institutionalization is the process by which
organizations and procedures acquire value and stability”.
Keempat,
organisasi merupakan bagian dari kelembagaan. Dari kacamata ekonomi, Binswanger dan
Ruttan (1978: 329) mengemukakan pandangan, bahwa: “An institution is usually defined as the set of behavioral rules that
govern a particular pattern of section and relationship. An organization is
generally seen as a decision making unit – a family, a firm, a bureau – that
exercise control of resources….. the concept of institution will include that
of organization”. Dalam konteks ini, organisasi merupakan organ dalam suatu
kelembagaan. Keberadaan organisasi menjadi bagian teknis yang penting
yang menjamin beroperasinya kelembagaan.
Dari bahasan di
atas, terlihat bahwa ada 3 hal, dengan dua level, dan dua objek pokok. Tiga hal
yang dimaksud adalah kelembagaan, perilaku, dan struktur. Kelembagaan merupakan
sebutan yang lebih tinggi, yang mencakup perilaku dan struktur, yang sejajar kedudukannya
dengan sebutan organisasi . Sedangkan perilaku dibentuk dari norma, nilai, dan
lain-lain. Sementara strukur berperan sebagai aspek statis Kinerja Kelembagaan
Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan
suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien
dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan
kebutuhan pengguna (Peterson, 2003). Ada dua hal untuk menilai kinerja
kelembagaan yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material, dan faktor
manajemen yang membuat produk tersebut bisa dihasilkan. Satu cara yang lebih
sederhana telah dikembangkan untuk memahami kinerja internal dan (sedikit)
eksternal suatu kelembagaan, melalui ukuran-ukuran dalam ilmu manajemen. Ada
empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan (institutional assessment), yaitu (Mackay et al., 1998):
Satu,
kondisi lingkungan eksternal (the
external environment). Lingkungan sosial di mana suatu kelembagaan hidup
merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas
seberapa jauh sesuatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan dimaksud berupa
kondisi politik dan pemerintahan (administrative
and external policies environment), sosiolkultural (sociocultural environment), teknologi (technological environment), kondisi perekonomian (economic enviroenment), berbagai
kelompok kepentingan (stakeholders),
infrastuktur, serta kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam (policy natural resources environment).
Seluruh komponen lingkungan tersebut perlu dipelajari dan dapat dianalisis
bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan yang dipelajari. Sebagian memiliki
pengaruh yang lebih kuat dan langsung, sebagian tidak. Implikasi kebijakan yang
disusun dapat dialamatkan kepada lingkungan tersebut, jika disimpulkan telah
menjadi faktor penghambat terhadap operasioal suatu kelembagaan.
Kedua, motivasi kelembagaan (institutional motivation). Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit
kajian yang memiliki jiwanya sendiri. terdapat empat aspek yang bisa dipelajari
untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan (institutional history), misi yang
diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku
anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut (incentive schemes). Suatu fakta sosial adalah fakta historik.
Sejarah perjalanan kelembagaan merupakan pintu masuk yang baik untuk mengenali
secara cepat aspek-aspek kelembagaan yang lain.
Tiga, kapasitas kelembagaan (institutional capacity). Pada bagian ini dipelajari bagaimana
kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Kemampuan
tersebut diukur dari lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai (strategic leadership), perencanaan
program (program planning), manajemen
dan pelaksanaannya (management and
execution), alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation), dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap
clients, partners, government
policymakers, dan external donors.
Empat, kinerja kelembagaan (institutional performance). Terdapat tiga hal pokok yang harus
diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan-tujuannya,
efisiensi penggunaan sumber daya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi
dengan para kelompok kepentingan di luarnya. Terkesan di sini bahwa kalkulasi
secara ekonomi merupakan prinsip yang menjadi latar belakangnya. Untuk mengukur
keefektifan dan efisiensi misalnya dapat digunakan analisis kuantitatif
sederhana misalnya dengan membuat rasio antara perolehan yang seharusnya dengan
yang aktual tercapai, serta rasio biaya dengan produktivitas.
Dalam pelaksanaan kegiatan penguatan
kelembagaan, prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang menjadi acuan,
landasan dan penerapan dalam seluruh proses kegiatan. Prinsip-prinsip tersebut
harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan serta dilestarikan oleh semua pelaku
dan stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan. Prinsip-prinsip yang diperlukan
adalah sebagai
berikut :
a. Demokrasi. Dalam setiap proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya, terutama kepentingan masyarakat golongan bawah, maka
mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan demokratis.
Anggota dan/ atau masyarakat didorong agar mampu membangun dan memperkuat
kelembagaan dengan representasi, yang akseptabel, insklusif, transparan,
demokrasi dan akuntabel.
b.
Partisipasi. Dalam tiap langkah kegiatan pengembangan masyarakat
harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa kebersamaan
melalui proses belajar dan bekerja bersama. Partisipasi dibangun dengan menekan
proses pengambilan keputusan oleh warga, mulai dari tataran ide/ gagasan,
perencanaan, pengorganisasian, pemupukan sumber daya, pelaksanaan hingga
evaluasi dan pemeliharaan. Partisipasi juga berarti upaya melibatkan segenap
komponen masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang rentan (Vulnerable
groups) yang selama ini tidak memiliki peluang/ akses dalam program
pengembangan masyarakat.
c. Transparansi dan
Akuntabilitas. Dalam proses manajemen proyek maupun manajemen kelembagaan masyarakat
harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga masyarakat
belajar dan “Melembagakan” sikap bertanggung jawab serta tanggung gugat
terhadap pilihan keputusan dan kegiatan yang dilaksanakannya. Transparan juga
berarti terbuka untuk diketahui masyarakat sendiri dan pihak terkait lainnya,
serta menyebarluaskan hasil pemeriksaan dan audit ke masyarakat, pemerintah,
lembaga, donor, serta pihak-pihak lainnya. Di dalam pengembangan masyarakat
terdapat prinsip transparansi, yaitu keterbukaan terhadap pelaksanaan program
dengan tujuan seluruh warga masyarakat dapat mengetahui keseluruhan tentang
program pengembangan masyarakat sampai dengan pelaksanaan kegiatannya, sehingga
masyarakat dapat berperan aktif dalam mengontrol kegiatan-kegiatan pengembangan
masyarakat di desanya, baik program yang datang dari pemerintah maupun program
yang tumbuh atas prakarsa masyarakat.
d.
Desentralisasi. Dalam rangka otonomi daerah, proses pengembalian
keputusan yang langsung menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat agar
dilakukan sedekat mungkin dengan pemanfaatan atau diserahkan pada masyarakat
sendiri, sehingga keputusan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Disamping prinsip-prinsip seperti diatas diperlukan nilai-nilai untuk menunjang
pelaksanaan program-program pengembangan masyarakat antara lain :
Dengan demikian, pemilihan
pelaku-pelaku ditingkat masyarakat pun harus menghasilkan figur-figur yang
benar-benar di percaya masyarakat sendiri, bukan semata mempertimbangkan status
sosial, pengalaman serta jabatan.
Ketulusan. Dalam melaksanakan
kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan benar-benar berlandaskan niat tulus dan
ikhlas untuk turut memberikan kontribusi bagi pembenahan lingkungan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ada di wilayahnya, kepentingan
pribadi serta golongan atau kelompoknya.
Kejujuran. Dalam proses pengambilan
keputusan, pengelolaan dana serta pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat
dilakukan dengan jujur sehingga tidak dibenarkan adanya upaya-upaya untuk
merekayasa, memanipulasi maupun menutup-nutupi sesuatu yang dapat merugikan masyarakat
serta menyimpang dari visi, misi dan tujuan pengembangan masyarakat.
Keadilan. Dalam
pelaksanaan kebijakan dan melaksanakan pengembangan masyarakat harus menekankan
rasa keadilan (Faimes), kebutuhan nyata dan kepentingan
masyarakat miskin. Keadilan dalam hal ini tidak berarti sekedar pemerataan.
Kesetaraan. Dalam
pelibatan masyarakat pada pelaksanaan dan pemanfaatan tidak membeda-bedakan
latar belakang, asal usul, agama, status, maupun jenis kelamin dan
lain-lainnya. Semua pihak diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dan/ atau
menerima manfaat, termasuk dalam proses pengambilan keputusan.
Kebersamaan
dalam keseragaman. Dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan
kemiskinan perlu dioptimalkan gerakan masyarakat, melalui kebersamaan dan
kesatuan masyarakat, sehingga urusan pengelolaan hutan bersama masyarakat dan
peningkatan taraf hidup benar-benar menjadi urusan semua warga masyarakat dari
berbagai latar belakang suku, agama, mata pencaharian, budaya pendidikan dan
sebagainya dan bukan hanya dari satu kelompok masyarakat atau pelaku sekelompok
saja.
III. ANALISIS EKONOMI INDONESIA PADA ERA ORDE BARU
Masa orde lama dimulai dari tanggal 17 Agustus 1945 saat Indonesia
merdeka. Pada saat itu,keadaan ekonomi Indonesia mengalami stagflasi (artinya
stagnasi produksi atau kegiatan produksi terhenti pada tingkat inflasi yang
tinggi). Indonesia pernah mengalami sistem politik yang demokratis yakni pada
periode 1949 sampai 1956. Pada tahun tersebut, terjadi konflik politik
yang berkepanjangan dimana rata-rata umur kabinet hanya dua tahun sehingga
pemerintah yang berkuasa tidak fokus memikirkan masalah-masalah sosial dan
ekonomi yangterjadi pada saat itu. Selama periode 1950an struktur ekonomi
Indonesia masih peninggalan jaman kolonial, struktur ini disebut dual society
dimana struktur dualisme menerapkandiskriminasi dalam setiap kebijakannya baik
yang langsung maupun tidak langsung.Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah
buruk dibandingkan pada masa penjajahanBelanda. Hal ini dikarenakan terjadi
nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing di tanah air. Nasionalisasi
perusahaan asing yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal
periode“Ekonomi Terpimpin” dengan haluan sosialis/komunis. Sebenarnya politik
ini hanya merupakansatu refleksi dari perasaan anti colonial, anti impralisme,
dan anti kapitalisme pada saat itu. Padaakhir September 1965, ketidakstabilan
politik Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinyakudeta yang gagal. Sejak
saat itu, sistem ekonomi yang dianut Indonesia mengalami perubahandari
pemikiran sosialis ke semikapitalis yang dalam pelaksanaannya mengakibatkan
munculnyakesenjangan ekonomi yang semakin besar. Periode ekonomi ini dimulai
sejak proklamasikemerdekaan hingga jatuhnya Presiden Soekarno.Perekonomian
Indonesia bisa dikatakan sebagai ekonomi perang, karena pada waktu itu
masihterjadi perang antara kaum revolusioner dengan pemerintahan Belanda yang
dibantu Inggris danAustralia. Situasi politik dalam negeri menjadi tidak
kondusif untuk kemajuan perekonomian.Terjadi banyak pertentangan politik,
muncul banyak partai, adanya keinginan negara kesatuanmaupun negara federasi
serta negara agama. Situasi ini menarik perhatian republik sehinggahubungan
dengan pemerintah Belanda makin memburuk. Pada waktu itu pihak swasta
dalamnegeri tidak mampu untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta milik
Belanda.Perekonomian Indonesia pada saat itu tidak mendapat perhatian cukup
dari pemerintah, sehinggakeadaan keuangan Indonesia memburuk, inflasi tinggi
dan dilaksanakannya kebijakan moneter yang sangat drastis yaitu sanering
(pengguntingan uang rupiah setengah lembar diganti dengan uang baru dan
dikembalikan kepada pemiliknya dan setengahnya lagi ditukar dengan obligasinegara).
Setelah diadakan sanering, keadaan ekonomi Indonesia bukannya membaik
namunharga-harga terus mengalami kenaikan seirama dengan keadaan politik di
dalam dan luar negeri.Sampai akhirnya pada tahun 1965, tercatat tingkat inflasi
terbesar 650 persen dengan pertumbuhan ekonomi tidak lebih dari 2-3 persen
pertahun. Seirama dengan orientasi ke blok sosialis, sistem perbankan pun
disesuaikan dengan sistem perbankan di Rusia. Dengan demikian,munculah istilah
sistem perekonomian sosialis ala Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, keadaan
ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh :
1. Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih
dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara
waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu
mata uang De Javashe Bank ,mata uang pemerintah Hindia Belanda,dan mata uang
pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for
Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di
daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai
pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
2. Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
3. Kas Negara kosong
4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain
:
1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR.
Surachman pada bulan Juli 1946.
2. Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke India (India
merupakan Negara yang mengalami nasib yang sama dengan Indonesia yaitu
sama-sama pernah dijajah, Indonesia menawarkan bantuan berupa padi sebanyak
500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-obatan kepada
Indonesia),mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus
blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang
mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang,
serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4. .Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan
tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan
beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan,
diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor
pertanian merupakan sumber kekayaan).
ORDE
BARU
Orde baru pada 1968, MPR secara resmi melantik
Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik
kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan
[1998].
Presiden
Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur Administratif yang didominasi militer namun dengan
nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara
efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya
mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan Aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh
pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap
tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan
antara pusat dan daerah.
Adapun
dari usaha pemerintah tersebut memberikan dampak positif dan negatifnya ,yaitu:
1) Dampak Negatif Kebijakan Orde Baru
a) Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan summer
daya alam
b) Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
c)
Pembangunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil
kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata
d) Meskipun
pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi
sangat rapuh.
e)
Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam.
f)
Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
g)
Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpadiimbangi kehidupan
politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
h)
Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlahwilayah yang
justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau,Kalimantan Timur, dan
Irian.
2) Dampak Positif Kebijakan Orde Baru
a)
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah
terencana dengan baik dan hasilnya pun dapat dilihat secara konkrit
b)
Indonesia mengubah ststus dari Negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa
yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
c)
Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
Progam Yang
Dijalankan Pada Masa Orde Baru
Menurut
Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi
yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaranyang tegas.
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun)
dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebutPelita(Pembangunan Lima
Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dariUniversitas Indonesia, dia
berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negaraBarat dan lembaga keuangan
seperti IMF dan Bank Dunia.Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian
dibuka selebarnya. Inilahyang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang
menilai kebijakanekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal
asing.Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.
1.
Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974
Yang menjadi landasan awal dalam
pembangunan masa ini adalah:
Tujuan
Pelita I: Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya
Sasaran
Pelita I: Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan
rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik
Berat Pelita I :Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang
pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil
pertanian.Muncul peristiwa Marali
(Malapetaka
Lima belas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan
kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan
demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi
ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di
Indonesia.Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
2.
Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada
masa ini adalah pangan,sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakanrakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II
berhasilmeningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7%setahun.
Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadikenaikna produksi.
Lalu banyak jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan di bangun.
3.
Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada
Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang.
Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur
Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua
lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai
berikut:
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepadaterciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
4.
Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan
pada sektor pertanian menujuswasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang
dapatmenghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV
antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi
beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras.
Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan danPertanian
Dunia) pada tahun 1985. Hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan,
pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
5.
Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik
beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada
pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang
ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap
pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan
mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas
Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
6.
Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Titik beratnya masih pada pembangunan
pada sektor ekonomiyang berkaitan dengan industri dan pertanian serta
pembangunan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia sebagai pendukungnya.
Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini
terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang
mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh. Disamping itu
Soeharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan
pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar
pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun1980. Puncaknya adalah penghasilan
dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan
kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses
pembangunan ekonomi. Keberhasilan Soeharto membenahi bidang ekonomi sehingga
Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an diawali dengan
pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas
tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama
ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
Kondisi
Ekonomi Indonesia Pada Saat Akhir Masa Orde Baru
Seperti
yang dijelskan sebelumnya, pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada
sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan
pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya.
Namun
Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih
baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak. Indonesia dilanda
krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari
krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi
krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Pelita
VI pun kandas ditengah jalan. Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan
KKN yang merajalela, Pembagunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh
sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan
tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara
fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. Kerusakan serta pencemaran
lingkungan hidup dan Sumber Daya Alam.
Perbedaan
ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan
(Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi
tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan
berkeadilan. Pembagunan pun tidak merata.
Tampak
dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa
terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang
selanjutnya ikut menjadi penyebab terpuruknya Perekonomian Nasional Indonesia
menjelang akhir tahun1997. Membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan
taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi
bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.
Faktor
Penyebab Kegagalan Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru
Ketika
krisis moneter melanda Indonesia, semua pihak tersentak melihat indikator
ekonomi Indonesia. Hanya dalam beberapa bulan, krisis ekonomi telah memporak
porandakan “keberhasilan” pertumbuhan ekonomi Indonesia (rata-rata 7-8 persen)
selama tiga dekade menjadi minus 13 persen. Ironisnya, dalam beberapa bulan
kemudian, krisis justru semakin parah dan mengarah pada potret ekonomi
Indonesia yang suram. Misalnya, selama dilanda krisis, jumlah penduduk miskin
meningkat menjadi 80 juta, angka pengangguran meroket menjadi 20 juta jiwa,
bahkan laju inflasi mendekati angka 100 persen (hiperinflasi).
Sikap mental Orde Baru yang tak lagi
menghargai supremasi hukum, hak asasi manusia (HAM), demokratisasi dan
lingkungan hidup memang tak sejalan dengan gerakan reformasi. Orde Baru bukan
menyangkut orang per orang, melainkan sikap mental dan pola pikir yang
mempengaruhi seseorang. Tanpa perubahan terhadap sikap mental itu, apa pun
gerakan reformasi yang dilakukan takkan berhasil.
Karena
itu, mentalitas Orde Baru harus diubah. Gerakan reformasi, lanjutnya, bisa
berhasil walaupun dilakukan oleh mereka yang pernah menjadi pejabat Orde Baru.
Asalkan, mereka sudah mengubur mentalitas Orde Baru serta mengubahnya menjadi
sikap mental yang sesuai dengan gerakan reformasi. Sebaliknya, reformasi bisa
gagal walaupun dilaksanakan oleh orang lain, yang bukan mantan pejabat Orde
Baru, tetapi mereka memiliki mentalitas Orde Baru. Mentalitas Orde Baru, muncul
karena penguasa mempunyai kedudukan lebih kuat dibanding rakyat. Akibatnya,
aparat pun merasa harus dilayani oleh rakyat, dan menempatkan rakyat bagai
peminta-minta pelayanan. Padahal, aparat sesungguhnya harus berperan melayani
masyarakat.
Bahkan,
dengan porsi kekuasaan pemerintah yang terlalu kuat, rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kasus pertanahan misalnya, rakyat
yang merasa haknya dirampas cuma bisa berunjuk rasa atau membangun tenda di
atas tanahnya. Namun itu tidak akan bertahan lama. Rakyat pun pasti kalah, BPN
tengah melakukan perubahan sikap mental aparatnya. Pelayanan kepada rakyat di
bidang pertanahan kini semakin dipermudah.
Orde
Baru bagaikan seorang raksasa yang kini tengah menghadapi sakratul maut. Bahkan
mungkin secara medis raksasa Orde Baru itu sudah mati. Tetapi seperti mahluk
hidup, yang menghadapi ajalnya, raksasa Orde Baru kini sedang
mengge-lepar-gelepar sekarat dan beberapa bagian tubuhnya bergerak tidak
terkendali.
Dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mengendalikan gerakan “bagian tubuh” Orde Baru yang tidak terkendali itu. Pemerintah dapat melakukan kekerasan untuk mempercepat kematian Orde Baru. Tetapi ini akan menghasilkan raksasa baru yang barangkali akan dihadapi rakyat, seperti menghadapi Orde Lama maupun Orde Baru, 10-20 tahun yang akan datang. Sebab itu, pemerintah dan ABRI memilih pendekatan persuasif, sekalipun butuh waktu dan kesabaran.
Dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mengendalikan gerakan “bagian tubuh” Orde Baru yang tidak terkendali itu. Pemerintah dapat melakukan kekerasan untuk mempercepat kematian Orde Baru. Tetapi ini akan menghasilkan raksasa baru yang barangkali akan dihadapi rakyat, seperti menghadapi Orde Lama maupun Orde Baru, 10-20 tahun yang akan datang. Sebab itu, pemerintah dan ABRI memilih pendekatan persuasif, sekalipun butuh waktu dan kesabaran.
Pendekatan
yang dilakukan pemerintah serta ABRI dalam menangani berbagai kerusuhan, memang
bukan suatu yang populer. Akibatnya, ABRI dan pemerintah dianggap lemah. Banyak
tokoh masyarakat yang menghujat pemerintah. Pemerintah saat ini selalu dalam
posisi terpojok, kalah, dan selalu salah. Sebaliknya, kalangan humas pemerintah
kurang mampu menghadapi pendapat masyarakat yang menyudutkan pemerintah.
Keberhasilan
pembangunan belumlah tentu sebuah keberhasilan. Bahkan, keberhasilan
pembangunan-khususnya selama Orde Baru, bisa menjadi perusakan alam dan
kerugian besar untuk masyarakat daerah. Ini terjadi, karena pelaksanaan
pembangunan kurang memperhatikan analisis dampak sosial. Juga pengaruh
banyaknya pejabat-pejabat yang menguasai sistem-sistem untuk kepentingan diri
mereka masing-masing sebagaimana yang telah menjadi ciri dari pemerintahan dan
masyarakat Orde Baru.
Suatu
golongan yang tidak disenangi kemudian menjadi disenangi, akan ikut membantu
memperlancar perubahan. Namun suatu golongan yang telah berada dalam situasi
yang menyenangkan, menikmati banyak hak istimewa, kekuasaan dan duit, mereka
akan bertahan sekuat mungkin. Itulah keadaan yang terjadi sekarang, golongan
status quo sangat kuat.
Para
pejabat Orde Baru selalu menyatakan penguasaan mereka atas sumber-sumber
ekonomi politik dan birokratik itu untuk kepentingan pembangunan bangsa, dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta janji-janji pemerataan atas hasil-hasil
pembangunan. Namun pada dasawarsa 1980-an, gerakan mahasiswa secara jitu
menemukan fakta bahwa “pembangunan telah memakan korban” bagi warga masyarakat
yang justru tergusur dari tanah mereka. Setiap upaya mempersoalkan nasib rakyat
tak jarang diperhadapkan dengan tudingan “mengganggu jalannya pembangunan”.
Jika mempersoalkannya ke tingkat internasional, aparat Orde Baru menudingnya
sebagai “menjelek-jelekkan bangsa” atau “menjual bangsa” ke pihak asing.
Tujuan
nasionalisme Orde Baru sangat jelas, yakni mempertahankan kepentingan KKN
mereka dengan dua target.
Pertama :
Kekuatan-kekuatan rakyat tak dapat berkembang dan tetap lumpuh, sehingga rakyat
tak bisa bersuara atas praktik KKN Orde Baru.
Kedua : Mengobarkan nasionalisme untuk mencegah dan mengacaukan upaya aktivis hak asasi manusia untuk memperkarakan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (human rights violation).
Kedua : Mengobarkan nasionalisme untuk mencegah dan mengacaukan upaya aktivis hak asasi manusia untuk memperkarakan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (human rights violation).
Hasil
yang diharapkan pemimpin Orde Baru yang mengobarkan nasionalisme sempit itu,
ada dua hal. Pertama, mereka kebal dari hukum (impunity). Semua praktik
KKN yang mereka jalankan, tidak dapat dihukum, sehingga
kepentingan-kepentingannya tetap lestari. Mereka untouchable-tidak bisa
dijangkau hukum. Kedua, mereka juga bebas bergentayangan melakukan penindasan
hak asasi manusia, memangsa korban dari bangsanya sendiri.
Nasionalisme
yang digembor-gemborkan oleh Orde Baru jelas berusaha keras mematikan gerak aktivis
hak asasi manusia dengan berbagai siasat dan intrik yang kotor. Dengan siasat
dan intrik kotor itulah pengibar nasionalisme ini mengelabui kita semua,
sehingga berbagai pelanggaran hak asasi manusia tidak diungkap dan tidak pula
diperkarakan.
Otoritarianisme
Orde Baru telah berulang kali menuduh para aktivis hak asasi manusia sebagai
“agen asing” atau “agen Barat” sambil terus menimbulkan korban-korban atas
bangsanya sendiri. Kita semua terus-menerus berusaha dibenamkan dalam perangkap
kesadaran untuk melupakan kekejaman yang diperbuat Orde Baru atas bangsanya
sendiri.
Nasionalisme
Orde Baru tak peduli jatuhnya korban dari bangsanya sendiri yang terhempas
menemui ajalnya sejauh kepentingan KKN tidak digugat rakyat. Bahkan dengan
praktik yang berkualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity) – kejahatan yang merupakan musuh seluruh umat manusia – jika perlu
dilakukannya. Untuk menutupinya pejabat Orde Baru dan pewarisnya sering
menangkalnya dengan pernyataan angkuh: “jangan campuri urusan dalam negeri
Indonesia”.
Pembangunan
yang terjadi di zaman Orde Baru pada awalnya bisa membuat pendapatan per kapita
naik empat kali, dari sekitar US$ 250 sampai sekitar US$ 1.000 per kapita
setahun. Namun kemudian Orde Baru ternyata hanya menyuburkan korupsi dan
memperbesar kesenjangan sosial. Di lain pihak, secara statistik juga bisa
dibuktikan bahwa tingkat kemiskinan berkurang. Tingkat kesejahteraan, yang bisa
diukur dengan konsumsi per kapita beras, gandum, BBM, listrik, fasilitas
kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan sebagainya, semua naik banyak.
Kalau sekarang, lima tahun sesudah digempur krisis ekonomi yang dahsyat,
tingkat konsumsi publik masih cukup dan sebagian terbesar masyarakat tidak
lapar dan merana –dibandingkan dengan tahun 1966– maka semuanya ini adalah
hasil perbekalan dari zaman Orde Baru.
Sedangkan
penanaman modal asing sangat diperlukan karena divestasi perusahaan-perusahaan
yang karena krisis dikuasai oleh negara, dan juga akibat dari skema debt-equity
swap yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang besar beban utangnya kepada
pihak luar negeri. Begitu juga kebijakan lalu lintas devisa sudah tidak baik
dipadukan dengan sistem nilai tukar mata uang tetap, tanpa fundamental ekonomi
yang kuat terhadap pengaruh globalisasi. Memang pemerintahan yang buruk (bad
governance)-tercermin dalam maraknya KKN -bukan penyebab utama masuknya
Indonesia ke dalam krisis, tetapi hal itu jelas amat memperburuk keadaan.
Setting
kapitalisme global terhadap Indonesia bukanlah suartu hal yang baru dilakukan.
Kenaikan rezim Soeharto dulu sedikit banyaknya mendapat dukungan dari
negara-negara maju. Setting itu juga dimainkan untuk menjatuhkan
Soeharto dari kekuasaannya karena praktek korupsi cukup parah, dukungan yang
tadinya diberikan lambat laun dicabut sampai akhirnya Soeharto terjungkal.
Pada
masa krisis ekonomi sebelum kejatuhannya, Soeharto tampak setengah hati
menjalankan kebijakan Bank Dunia dan IMF. Tetapi karena Soeharto tidak mau
membubarkan anak-anak dan kroninya, renacana peminjaman dana itu ditarik
kembali. Padahal sebagaian besar Bank-bank itu sudah dalam kedaan kacau.
Kelemahan
Soeharto adalah terlalu membela anak-anak keluarga dan kroninya. Sehingga Bank
Duniapun ditentangnya. Sehingga Saoeharto tidak dapat dukungan dan jatuh.
Bahkan pengusaha dan militer sebagai penopang utama kekuasaannya pun pada
akhirnya tidak memberikan dukungan karena sudah tidak melihat ada prospek lagi
dalam kekuasaannya. Setelah Soeharto jatuh, Bank Dunia tidak serta merta dapat
langsung melakukan kontrol terhadap penguasa baru di Indonesia.
Rezim
pemerintahan Orde Baru yang pada waktu itu sudah memangalami banyak
permasalahan tidak cepat-cepat membereskan masalahnya sehingga hanya
mempersulit dan menambah beban bagi rakyat yang sudah lama merasa tidak puas.
Ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahan semakin di tambah dengan
naiknya-harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, lauk-pauk, BBM, yang
notabene merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi rakyat.
Rezim
Orde Baru Soeharto akhirnya punya banyak cacatnya yang menjadi fatal karena
tidak terkoreksi secara dini. Seandainya Soeharto mau mundur pada pertengahan
1980-an dan cengkeraman sosial-politiknya bisa dikendurkan, keadaan mungkin
sekali tidak separah sekarang. Negara, dan para pemimpinnya, yang mampu membanting
setir demikian adalah RRC, yang sistem politiknya masih dikendalikan Partai
Komunis, akan tetapi ekonominya direformasikan berdasarkan sistem pasar terbuka
yang cukup bebas. Proses otonomi daerah di RRC senantiasa bisa dikendalikan
Beijing, karena semua gubernur dan bupati diangkat dan diberhentikan pemerintah
pusat.
Pembangunan
politik dan ekonomi untuk negara besar seperti Indonesia selalu memerlukan
pemerintah yang kuat. Ini hanya ada selama zaman Soeharto, tetapi dengan
pengorbanan demokrasi politik dan sosial.
Satu-satunya
masa pendek yang mungkin bisa kita pelajari kembali, kalau mencari percontohan,
adalah masa 1950-1957. Pada masa itu, pengaruh asing (kebanyakan memang
Belanda) masih kuat. Orientasi kebijakan ekonomi masih rasional dan terbuka terhadap
interaksi dengan dunia luar. Kehidupan politik masih cukup demokratis, dan
partai opisisi ada. Beberapa tokoh yang pragmatik berpengaruh di bidang
ekonomi, yakni Bung Hatta, Sjafruddin, Djuanda, Leimena, Sumitro, Wilopo, dan
sebagainya. Bung Karno masih ada dengan pengaruhnya yang karismatik dan
menyatukan bangsa, akan tetapi ia belum menjadi penguasa utama. Tetapi,
bibit-bibit perpecahan politik sudah ada, dan konflik dunia, demokrasi lawan
komunisme, sudah mulai masuk ke negeri ini. Indonesia memang tidak pernah bisa
mengasingkan diri dari pengaruh-pengaruh dunia, baik politik maupun ekonomi.
Dalam
membangun negara, kita harus membedakan antara state building dan nation
building. Dalam tahap pertama, kita lebih berhasil dalam hal nation
building, dan jasa Bung Karno tidak boleh dilupakan. Nation building
selama 50 tahun dilakukan dan dilestarikan berdasarkan wacana melting pot,
seperti di Amerika, di mana suku-suku bangsa kaum imigran yang menyusun Amerika
harus melebur diri menjadi prototipe bangsa Amerika yang Anglosax dan
Protestan. Ika-nya lebih penting daripada bhinneka-nya. Setelah 50 tahun, model
nation building ini harus kita tinggalkan. Kebinekaan harus lebih
ditonjolkan, akan tetapi kesatuan bangsa dan negara harus dipelihara, kalau
bisa secara alami, atas dasar keyakinan nasional bahwa hidup sebagai warga
bangsa besar lebih sentosa daripada sebagai warga negara kecil.
Tetapi,
terutama elite politik di Jakarta dan di Jawa, lagi pula TNI, harus mengubah
wacana-wacananya. Sampai sekarang, konsensus yang praktis masih dicari.
State building rupanya jauh lebih sulit daripada nation building. Para peninjau asing yang kompeten (ahli ilmu politik) pada umumnya tidak terlalu menyangsikan bahwa Indonesia kelak pecah seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Semangat nasionalisme masih cukup kuat, walaupun sudah mengalami erosi. Yang membuat risiko besar perpecahan RI adalah bahwa pemerintahnya lemah. “Indonesia is not a failed state but a weak state”. Pemerintah di Jakarta lemah oleh karena terperangkap dalam proses demokratisasi.
State building rupanya jauh lebih sulit daripada nation building. Para peninjau asing yang kompeten (ahli ilmu politik) pada umumnya tidak terlalu menyangsikan bahwa Indonesia kelak pecah seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Semangat nasionalisme masih cukup kuat, walaupun sudah mengalami erosi. Yang membuat risiko besar perpecahan RI adalah bahwa pemerintahnya lemah. “Indonesia is not a failed state but a weak state”. Pemerintah di Jakarta lemah oleh karena terperangkap dalam proses demokratisasi.
Lemahnya
pemerintah dan negara dewasa ini oleh karena alat-alat penegak kekuasaan tidak
berfungsi: tentara, polisi, jaksa, hakim, sistem peradilan, dan sebagainya.
Moral serta perasaan tanggung jawabnya dirusak oleh KKN dan oleh karena negara
tidak bisa menjamin gaji dan balas jasa yang wajar. Maka, krisis ekonomi
memperparah efektivitas aparat pemerintah dan negara. Anggaran belanja
pemerintah terlalu digerogoti pembayaran kembali utang dan bunga. Beban utang
ini ikut menyebabkan weak state. Ini mempermasalahkan untung dan ruginya
bantuan internasional, juga peran asing (dan yang “nonpribumi”) di perekonomian
kita.
Perlukah
kita akan mereka, atau kita harus menegakkan kedaulatan serta kemurnian “negara
pribumi” kita? Secara logis dan historis empiris, jawabnya: Indonesia tidak
bisa keluar dari krisis dan kelemahan tanpa bantuan dari luar dan tanpa membuka
diri terhadap unsur-unur asing dan yang non pribumi. Ada kalangan (politisi
pribumi) yang secara bangga mengatakan, kita bisa berdiri sendiri berdasarkan
kekayaan alam kita. Pengalaman zaman Bung Karno sudah memberi pelajaran. Tidak
ada gunanya mengusir Belanda, Cina, asing Barat, dan menolak penanaman modal
asing. Bung Karno pun membuat pengecualian: perusahaan minyak bumi asing (Caltex
dan Stanvac) yang sudah ada tidak diusir karena hasil devisa diperlukannya.
Jika
ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu
pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan
industri bertahap.
Kehidapan
perekonomian pada zaman Orde Baru sudah berlalu sekitar belasan tahun yang
lalu. Tapi pembahasannya masih cukup hangat sampai sekarang. Pada saat mulainya
zaman Orde Baru, pemerintahan yang baru ini diwarisi dengan keadaan ekonomi
yang parah. Yaitu dengan utang luar negri yang banyak sebesar 2,3-2,7 miliar,
tingkat inflasi yang tinggi dan permasalah ekonomi dan poltik yang lain.
Sehingga pada permulaan pemerintahan Orde Baru, pemerintah menempuh berbagai
macam cara, seperti stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, membentuk kerja sama
denagn luar negri, dan pembangunan ekonomi. Dengan berorientasikan pada usaha
penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat
inflasi, penyelamatan keuangan Negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Dan berharap dengan cara tersebut permasalahan yang ditinggalkan oleh Orde Lama
bisa diselesaikan.
Dan
terbukti dengan cara tersebut masalah-masalah tersebut mulai bisa di atasi
dengan cepat. Itu teraplikasi dengan pemerintah mengeluarkan beberapa program
pembangunan, yaitu PELITA (Pembangunan Lima Tahun), dan berjalan dengan lancar.
Tapi dibalik keberhasilan pemerintah, ada juga dampak negatif dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Seperti, terjadinya otoritas, KKN, dwifungsi ABRI/Polri, pembangunan yang tidak merata, fundamental pembangunan ekonomi yang sangat rapuh.
Tapi dibalik keberhasilan pemerintah, ada juga dampak negatif dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Seperti, terjadinya otoritas, KKN, dwifungsi ABRI/Polri, pembangunan yang tidak merata, fundamental pembangunan ekonomi yang sangat rapuh.
Kita sudah
harus menyadari dengan penuh dan cerdas bahwa kejahatan-kejahatan Orde Baru
telah memakan banyak korban, dari awal ia berdiri dan menunjukkan eksistensinya
hingga kini ia diwariskan. Ia bahkan dengan berbagai cara dan intrik kotor
berusaha keras memusnahkan cita-cita agung meraih “kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Kita mesti memutus rantai otoritarianisme Orde Baru secara konsisten.
Eksploitasi sumber daya
Selama
masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber
daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar
namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan
dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Saat
permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan
ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi,
penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan
pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang
menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi
penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan
pemerintah.
Setelah
itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan
ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan
mengacu pada Tap MPRS guna mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki
sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :
1.
Rendahnya penerimaan negara
2.
Tinggi dan tidak efisiensinya pengeluaran agama
3.
terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank terlalu banyak
tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi
4.
impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
5.
Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:
1.
Mengadakan operasi pajak
2. Cara
pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak
orang.
Orde
Baru merupakan zaman yang telah lama berkuasa di indonesia yaitu kurang lebih
selama 32 tahun. Pada masa pemerintahan itu terdapat banyak permasalahan, terutama
yang berkaitan dengan masalah perekonomian yang terjadi pada rezim tersebut.
Seperti kejadian stabilisasi ,rehabilitasi,inflasi ,dan permasalahan lainnya.
Pada masa demokrasi terpimpin ini, negara bersama aparat ekonominya mendominasi
seluruh kegiatan ekonomi yang berakibat mematikan potensi dan kreasi unit-unit
swasta. Sehingga pada permulaan orde baru pemerintah berorientasi untuk
berusaha menyelamatkan ekonomi nasional terutama pada usaha pengendalian
tingkat inflasi dan penyelamatan keuangan negara serta pengamanan kebutuhan
rakyat.
Maka
dari itu pemerintah menempuh beberapa cara, antara lain:
1.Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
(Stabilisasi yang berarti mengendaliakan inflasi agar harga barang-barang tidak
melonjak secara terus menerus,Sedangkan Rehabilitasi adalah perbaikan secara
fisik sarana dan prasarana ekonomi)
2.Mengadakan kerjasama dengan Negara
Lain / Kerja Sama Luar Negri (Pemerintah mengikuti perundingan dengan
Negara-negara kreditor di Tokyo Jepang pada 19-20 September 1966 yang
menanggapi baik usaha pemerintah Indonesia bahwa devisa ekspornya akan
digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor
bahan-bahan baku)
3.Pembangunan
Nasional (Pedoman pembangunan nasional adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan
Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi
semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil)
Krisis Moneter yang
melanda Indonesia pada awal Juli 1997. Pada peristiwa terjadinya Krisis Moneter
ini telah berubah menjadi krisis ekonomi yang melanda seluruh pelosok negeri,
yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan
yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur.
Krisis ekonomi tersebut
tidak sepenuhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, melainkan
ditambahi ataupun diperberat dengan terjadinya musibah-musibah nasional yang
datang silih berganti di tengah kesulitan ekonomi yang sedang terjadi seperti
terjadinya kegagalan panen padi di banyak wilayah Indonesia yang diakibatkan
oleh musim kering yang berkepanjangan dan terparah selama 50 tahun terakhir,
serta peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998
lalu.
Dari alasan-alasan di atas
penulis berusaha melakukan pembahasan yang terjadi pada waktu itu. Penulis
mencoba untuk mengetahui dan memaparkan hal-hal apakah yang terjadi era Orde
Baru dalam perekonomian Indonesia, dan apa sajakah dampak yang ditimbulkan dari
krisis moneter tersebut.
Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Awal
Masa Orde Baru
Di awal Orde Baru,
Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil
untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama
memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,”
kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Soeharto.
Untuk menekan inflasi yang
begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan
Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau lakukan dengan menertibkan anggaran,
menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor
ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
Setelah
itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan Kebijakan
ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan
mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1. Mendobrak
kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan,
seperti :
a.
Rendahnya penerimaan Negara
b.
Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara
c.
Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank
d.
Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang
sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2.
Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3.
Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan
langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara :
1.
Mengadakan operasi pajak.
2.
Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan
menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Menurut
Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi
yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas.
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun)
dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima
Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia
berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan
seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
Krisis Moneter dan Faktor – faktor
Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini
bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, terutama karena
utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol
bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya
nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai
nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar
rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara
bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta
luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS
ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi
Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain, walaupun distorsi pada
tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap
mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang
ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi
dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling
bersusulan. Analisis dari faktor faktor penyebab ini penting, karena
penyembuhannya tentu tergantung dari ketepatan diagnosa.
Bank dunia melihat adanya
empat sebab utama yang bersama sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan
(World Bank, 1998,pp.17-1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar
negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997. Sebab yang kedua adalah
kelemahan pada sistem perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk
kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma
krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial
dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi pemilu
yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
Penyebab utama dari
terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah
terhadapa dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya,
tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang
masing-masing pengamat.
Berikut ini diberikan
rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya :
1. Dianutnya
sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut
rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang
yang sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas
membuka rekening valas didalam negeri atau diluar negeri. Valas bebas
diperdagangkan didalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di
pusat pusat keuangan di luar negeri.
2.
Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993)
hingga 5,8% (1991) antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah nilai
tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya
relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk
dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai
rupiah, yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya
harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal,
sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya
produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetetif dan
impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap
serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang
nyata.
3.
Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak
tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya
(bandingkan juga wessel et al.:22), ditambah sistem perbankan nasional yang
lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah
mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi
pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang
(oustanding official debt). Ada tiga pihak yang bersalah disini,
pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah
memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah
terus menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman
dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi
relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk
menahan pelarian dana keluar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan
dananya dalam rupiah. Jadi disini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama.
Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini
terjadi selama bertahun tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus
meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian
pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu
pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta
luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan
dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar
negeri dalam jumlah besar ini, disamping lebih menguntungkan, juga disebabkan
suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallay of thinking2,
dimana pengusaha beramai ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun
bidangnya sudah jenuh, karena masing masing pengusaha hanya melihat dirinya
sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak
kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati hati dalam memberi
pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998:5). Jadi
sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari
kerugian yang diderita oleh debitur.
4.
Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds
tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki
Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan
modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri
sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini
juga meminjam dari sistem perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu
sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak invertensi dipasar valas
karena tidak akan ada gunanya.
5.
Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar
dengan pita batas intervensi. Sistem ini meyebabkan apresiasi nyata dari nilai
tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistem batas intervensi
ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution : 2). Terkesan tidak adanya
kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi
krisisi (Nasution:1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini.
Ketidakmampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan
mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan
cepat (Wrold Bank, 1998:1.10).
6.
Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff
10;IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih
besar daripada ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama
adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga
barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam
negeri.
7.
Penanaman modal asing portpolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran
diimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter
yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar
(Worl Bank, 1998, hal. 1.3,1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam
negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang
relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat
devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% pertahun sejak 1986 meyebabkan banyak
modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar rupiah tambah
melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar
negeri meskipun di coba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas
surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak pada
investor luar negeri yang kurrang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5).
Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p.2.1).
8.
IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran ddana bantuan yang
dijanjikan dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik.
9.
Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal 22). Para spekulan ini pun
tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari
sistem perbankan untuk bermain.
10. Terjadi krisis
kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli
dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan bisa menarik keuntungan dari
merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, dimana serbuan
terhadap dollar AS makin lama makin besar.
11. Daya saing
negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak
pereusahaan Jepang melakuakn relokasi dan investasi dalam jumlah besar di
negara Indonesia. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap Yen
Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat
karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan (Ehrke: 2).
Di lain pihak harus diakui
bahwa sektorr rill sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun
kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa
ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan
perekonomian Indonesia seperti pada orde baru ini. Memang terjadi dislokasi
sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan atau
kelompok tertentu uang menguntungkan mereka dan merugikan rakyat banyak dan
perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli dii
berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil
nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang
dipengaruhi oleh sektor rill dalam negeri, meskipun kelemahan sektor rill dalam
negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi
sektor rill saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah karena
terdapat ketidakseimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek
dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS yang melambung
dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera di dahulukan untuk
mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri,
membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat,
dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai
tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah
mengembalikan stabilitas sosial dan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar